News

Bermadzhab

Blog Single

Bermadzhab merupakan perintah Al-Qur’an, yang merupakan esensi dalam menjalankan perintah Allah untuk mengikuti para ulama sebagai ahli waris Nabi shalallahu’alaihi wasallam . Sebab mengikuti pendapat ulama, pada dasarnya bermadzhab terhadap pendapat ulama tersebut.

Di sisi lain muncul kesalahpahaman terkait istilah bermadzhab. Di mana istilah ini, seringkali dipahami dengan makna mewajibkan diri atau orang lain untuk mengikuti satu mazhab tertentu. Meskipun tanpa disadari mereka yang menolak madzhab yang diakui dalam sejarah Islam, lebih mengidolakan dan mewajibkan orang lain untuk mengikuti “madzhab” tertentu pada hari ini, yang sama sekali belum teruji atau melalui proses seleksi alam, sebagaimana dilalui 4 madzhab fiqih yang ada.

Madzhab Hanafi

Membaca surat Al Fatihah dalam madzhab Hanafi bukanlah bagian dari rukun yang harus dikerjakan, namun ulama madzhab Hanafi memotivasi agar pengikutnya membaca surat Al Fatihah saat shalat jenazah. Tertulis dalam kitab fiqih Al Hanafi ,Maraqi Al Falah,”..dan boleh membaca Al Fatihah dengan tujuan memberikan pujian, demikian hal ini telah dinashkan bagi madzhab kita, dan di Al Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa ia menshalatkan jenazah lalu membaca Al Fatihah dan berkata “Agar mereka mengetahui bahwa hal itu sunnah”. Dan hadits itu dishahihkan oleh At Tirmidzi. Dan para imam kita berkata bahwa memperhatikan perkara khilaf mustahab, sedangkan hal itu (membaca Al Fatihah) fardhu menurut Asy Syafi’I Rahimahullah Ta’ala, maka tidak mengapa membacanya dengan tujuan membaca Al Qur`an untuk keluar dari khilaf.” (Maraqi Al Falah, hal. 227)

Dalam madzhab Hanafi tidak diwajibkan wudhu bagi siapa yang mengusung jenazah. Namun Imam Ahmad berpendapat wajib berwudhu bagi siapa yang telah mengusung jenazah, maka dalam hal ini Ath Thahthawi berkata,”Maka disunnahkan wudhu, untuk keluar dari khilaf, juga untuk mengamalkan hadits.” (Hasyiyah ATh Thahthawi, 1/55)

Madzhab Maliki

Bagi madzhab Maliki, membaca basmalah sebelum Al  Fatihah adalah perkara yang mubah, dan shalatnya sah, sedangkan bagi madzhab Asy Syafi’i, tidak sah shalat jika tidak membacanya, karena itu bagian dari Al Fatihah. An Nafrawi pun berkata,”Yang disepakati lebih baik daripada yang tidak disepakati, telah berkata Imam Al Qarrafi (Maliki), dan Ibnu Rusyd (Maliki) dan Al Ghazali bahwa bagian dari kehati-hatian keluar dari khilaf dengan membaca basmalah dalam shalat.” (Al Fawaqih Ad Dawani, hal. 409)

Madzhab Syafi’i

Dalam madzhab  Syafi’i tidak diperlukan niat bagi siapa yang memandikan jenazah. Namun, mustahab untuk meniatkannya, dalam rangka keluar dari khilaf, dikarenakan Imam Malik mewajibkan niat bagi yang memandikan jenazah. (Tuhfah Al Habib, 2/516)

Meski dalam madzhab Asy Syafi’i dinyatakan sah shalat sendiri di belakang shaf, namun disunnahkan menarik seseorang dari shaf depan untuk shalat bersamanya di belakang. Hal itu dikarenakan Imam Ahmad menilai bahwa shalat sendirian di belakang shaf tidak sah. (Hasyiyah Al Bujairimi, 1/322)

Dalam madzhab Asy Syafi’i i’tikaf sah dilakukan di masjid meski bukan masjid jami’, namun Imam Asy Syriazi berkata,”Dan lebih utama beri’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak pernah beri’tikaf kecuali di masjid jami’, juga karena di masjid jami’ lebih banyak jama’ah shalatnya, juga dalam rangka keluar dari khilaf, dimana Az Zuhri menyatakan tidak boleh i’tikaf kecuali di masjid jami”. (Al Majmu’, 6/504)

Meskipun dalam madzab Asy Syafi’i sah melakukan i’tikaf kurang dari satu hari, namun Imam Asy Syafi’i berkata,”Lebih utama, ia tidak kurang dari satu hari, karena tidak pernah dinukil dari Rasulullah Shallallahu Alihi Wasallam dan para sahabatnya bahwasannya mereka beri’tikaf kurang dari satu hari dan dalam rangka keluar dari khilaf Abu Hanifah dan lainnya yang mensyarakan i’tikaf satu hari atau lebih.” (Al Majmu’, 6/513).

Madzhab Hanbali

Takbir dalam shalat jenazah diriwayatkan dari Imam Ahmad beberapa riwayat, yang menunjukkan jumlah takbir lebih dari empat takbir, namun Ibnu Qudamah mengatakan,”Lebih utama tidak lebih dari empat, karena hal itu keluar dari khilaf, dan mayoritas ahlul ilmi berpendapat bahwa takbir empat kali.” Diantara ulama yang berpendapat takbir empat kali adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i (Asy Syarh Al Kabir, 2/352).

Apakah Orang Awam Wajib Memilih Madzhab Tertentu Untuk Beragama?

Dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satu pendapat yang ada mengatakan, “Tidak wajib“. Inilah pendapat yang lebih tepat. Yang namanya kewajiban adalah jika diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak mewajibkan kepada seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu untuk diikuti agamanya, namun yang diwajibkan adalah mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Dan telah berlalu beberapa generasi, namun mereka sama sekali tidak berpegang dengan satu madzhab tertentu.  Intinya, mewajibkan mengikuti salah satu madzhab tertentu tidaklah dibolehkan. Inilah hukum asalnya.

Namun perlu diperhatikan bahwa pendapat di atas tidak berlaku secara mutlak. Sebenarnya tetap diperbolehkan mengikuti madzhab tertentu namun hanya berlaku pada keadaan tertentu saja. Keadaan-keadaan yang dibolehkan tersebut adalah:

1.      Mempelajari madzhab tertentu hanya sebagai wasilah (perantara) saja dan bukan tujuan. Jika seseorang tidak mampu belajar agama kecuali dengan mengikuti madzhab tertentu, maka dalam keadaan seperti ini dibolehkan.

2.      Jika ia mengikuti madzhab tertentu untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar, yang ini bisa dihilangkan bila ia mengikuti madzhab tertentu, maka ini dibolehkan.

Jadi sebenarnya mengikuti madzhab tertentu harus melihat pada maslahat dan mafsadat. Jika mengikuti madzhab tertentu membuat seseorang mendapatkan maslahat besar, maka pada saat ini boleh bermadzhab.
Namun ada beberapa rambu yang harus diperhatikan ketika belajar pada madzhab tertentu.

Rambu-Rambu dalam Bermadzhab

1.      Rambu pertama : Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.

Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala’ dan baro’ (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.

2.      Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.

3.      Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

4.      Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:

·         Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.

·         Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.

·         Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.

·         Mendudukkan imam madzhab sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

·         Prinsip Yang Benar: Ikutilah Al Quran dan As Sunnah

·         Prinsip yang benar adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah. Selama perkataan imam madzhab sejalan dengan keduanya, maka barulah perkataan mereka layak diambil. Sedangkan memaksakan seseorang untuk bermadzhab dengan pendapat salah seorang di antara mereka, ini adalah menetapkan perintah tanpa adanya dalil.

 

Allah Ta’ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya) (QS. Al A’rof:3).

Bermazhab Atau Mengamalkan Satu Mazhab?

Para ulama sepakat (kecuali kelompok sesat qadariyyah dan Mu’tazilah Baghdad) akan wajibnya masyarakat awam yang bukan mujtahid untuk taqlid kepada madzhab tertentu dalam masalah-masalah ijtihadiyyah (fiqih), dalam arti bermazhab dengan madzhab tersebut. Bahkan Ibnu Qudamah (wafat 620 H) menghukuminya sebagai kewajiban .Sebagaimana pendapat ini diamini pula oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in dan Imam asy-Syaukani, dalam Irsyad al-Fuhul . Dua tokoh yang sering dirujuk oleh mereka yang menolak taqlid mazhab. Bahkan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menjelaskan bahwa kepentingan masyarakat awam (muqallid awam) pada dasarnya bukanlah bagaimana mereka harus tahu dan meneliti dalil al-Qur’an dan Sunnah atas amalan beragama mereka. Sebab pengetahuan tentang dalil adalah kewajiban ‘ulama, sedangkan masyarakat awam cukup bagi mereka merujuk kepada ahlinya dalam menjalankan agama mereka. Beliau berkata dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din.

Hukum Berpindah-Pindah Madzhab

Dalam permasalahan boleh tidaknya seseorang berpindah-pindah dalam mengikuti pendapat ulama mazhab, memang ada perbedaan pandangan dikalangan para ulama. Secara umum terbagi menjadi dua kubu pendapat. Kubu pertama berpendapat berpindah-pindah mazhab adalah perkara yang tidak dibolehkan, terkecuali dengan syarat dan tatacara yang memang membolehkannya.

Sedangkan sebagian ulama lain cendrung membolehkannya secara mutlak.

·         Pendapat yang tidak membolehkan.

Hujjah kalangan yang melarang seseorang berpindah-pindah madzhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam ibadah. Sebab tiap-tiap amaliyah suatu mazhab  itu dihasilkan dari sebuah proses penyimpulan hukum (istimbath) yang menggunakan kaidah yang pakem. Sehingga menurut kalangan ini, berpindah-pindah mazhab  semaunya adalah praktek  terlarang. Namun, jika diteliti lebih dalam, ternyata kalangan ini bukan mutlaq melarang seseorang berpindah pendapat fiqih. Yang dilarang itu ternyata adalah berpindah-pindah mazhab dengan tujuan mencari -cari perkara yang mudah dalam satu permasalahan agama. Misalnya dalam tatacara wudhu ia berwudhu dengan cara Malikiyah yang tidak mengharuskan tertib (mazhab ini membolehkan dibolak balik, misalnya membasuh kaki dulu, lalu muka dll) namun ketika membasuhkan air ia menggunakan mazhab syafi'i yang tidak mengharuskan adanya gosokan. (Mazhab Maliki mewajibkan anggota tubuh yang dibasuh digosok dengan tangan). Niatannya dia melakukan itu untuk tujuan mencari-cari yang mudah, itulah yang dilarang. Adapun berpindah-pindah mazhab jika bukan talfiq.  (Talfiq adalah mengoplos pendapat mazhab dalam 1 permasalahan ibadah) ternyata mayoritas kelompok pendapat pertama ini membolehkan. Sekalipun niatannya untuk mencari-cari yang mudah-mudah dari pendapat fiqih, Misalnya seseorang berwudhu dengan mazhab Maliki, shalat  dzuhur dengan mazhab Syafi'i, lalu shalat ashar dengan mazhab lain lagi. Ini dibolehkan karena bukan termasuk talfiq.  Dalam mazhab Syafi'i, keterangan ini bisa kita dapatkan dalam kitab : I’anah at-Thalibin, (4/217) juga dalam Fath al-Mu’in, hal. 138.

Kesimpulan pendapat pertama :

Dianjurkan berpegang disatu pendapat mazhab, berpindah -pindah mazhab perkara mubah atau bisa makruh. Yang diharamkan adalah  melakukan  talfiq dengan tujuan mencari hukum yang mudah.

Imam al-Ghazali menjelaskan alasan dilarangnya praktik talfiq karena condong pada mengikuti hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa nafsu.  Pendapat pertama ini dianut oleh mayoritas ulama mazhab.

·         Kalangan yang membolehkan secara mutlak

Sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa berpindah pendapat madzhab  bukanlah hal yang dilarang. Baik secara talfiq ataupun bukan. Hujjah kalangan ini adalah tidak adanya dalil yang memerintahkan seseorang untuk berpegang disatu pendapat. Yang ada hanya perintah dari Allah :

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)

Ayat diatas hanya mengisyaratkan seorang muslim bertanya kepada ulama mengenai urusan agama. Dan Allah tidak membatasi hanya kepada satu dua ulama, sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dahulu juga tidak membatasi orang-orang untuk bertanya dalam urusan agama kepada satu sahabat saja. Tapi beliau membolehkan siapapun sahabat kala itu untuk dijadikan rujukan persoalan agama.

Yang secara lantang membolehkan praktek berpindah mazhab secara talfiq sekalipun adalah kalangan mazhab Hanafiyah diantaranya imam Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid/Ibn Humam (750-808 H) demikian juga ini diamini oleh sebagian kalangan Malikiyah.

Sumber : Oleh Ust. Abdul Somad dan Buya Yahya

Picture : Literasi Google

 

 

Share this Post: