Sutrah Dalam Shalat
Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan meletakkan sutrah di hadapan orang yang shalat adalah sunah, tanpa menggunakan sutrah shalatnya tetap sah, tetapi dia telah meninggalkan sunah. Segolongan lain mengatakan wajib memakai sutrah. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:
“… Tetapi sutrah itu bukan kewajiban, itu hanyalah sunah, maka siapa saja yang shalat tanpa sutrah maka tidak apa-apa.” (Fatawa Nuur ‘Ala Ad Darb, 9/307)
Dalam kesempatan lain, Beliau juga mengatakan:
ÙالØاصل أن هذا الØديث الذي Ùيه الخط لا بأس به على الصØÙŠØØŒ وهو عند الØاجة وعند عدم تيسر الجدار والعصا المنصوبة يخط خطا، وليست السترة واجبة، Ùلو صلى إلى غير سترة صØت صلاته، ولكن يكون ترك السنة
Kesimpulannya, hadits ini menunjukkan bahwa yang benar adalah membuat sutrah dengan garis adalah tidak apa-apa, yaitu ketika memang hal itu dibutuhkan dan ketika sulit mendapatkan dinding dan tongkat untuk membuat sebuah garis, dan sutrah bukanlah kewajiban, seandainya shalat tanpa memakai sutrah maka shalatnya tetap sah, tetapi dia meninggalkan sunah. (Ibid, 9/310)
Dan, Sutrah sudah mencukupi walau dengan garis atau ujung sajadah, namun lebih utama dengan adanya benda yang nampak setinggi pelana kuda atau lebih, seperti tas, kursi, meja, tiang, dan dinding. Berikut ini keterangan para ulama.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata:
السترة للمصلي جائزة بكل شيء Øتى لو كان سهماً لقول النبي صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ: “إذا صلى Ø£Øدكم Ùليستر لصلاته ولو بسهم” ØŒ بل قال العلماء إنه يمكن أن يستر بالخيط وبطر٠السجادة بل جاء ÙÙŠ الØديث عن النبي عليه الصلاة والسلام أن من لم يجد عصاً Ùليخط خطاً، كما ÙÙŠ Øديث أبي هريرة عن النبي صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قال: “إذا صلى Ø£Øدكم Ùليجعل تلقاء وجهه شيئاً، Ùإن لم يجد Ùلينصب عصاً، Ùإن لم يكن معه عصاً Ùليخط خطاً، ولا يضره ما مر بين يديه” . رواه الإمام Ø£Øمد، وقال ابن Øجر ÙÙŠ البلوغ: ولم يصب من زعم أنه مضطرب، بل هو Øسن. وكل هذا يدل على أن السترة لا يشترط أن تكون كبيرة، وإنما يكتÙÙŠ Ùيها بما يدل على التستر.
Sutrah untuk orang shalat boleh menggunakan apa saja walau dengan busur panah, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kalian shalat hendaknya dia membuat sutrah (penghalang) walau dengan busur panah.” Bahkan para ulama mengatakan bahwa dimungkinkan membuat sutrah dengan garis dan ujung sajadah, bahkan terdapat hadits dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang tidak memiliki tongkat, maka hendaknya dia membuat garis sebagaimana hadits Abu Hurairah dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu. (HR. Ahmad)
Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Tidak benar pihak yang menyangka hadits ini mudhtharib (guncang), bahkan hadits ini hasan.” Semua ini menunjukkan bahwa sutrah tidak disyaratkan mesti dengan sesuatu yang besar, dia sudah mencukupi dengan apa-apa yang bisa menunjukkan adanya penghalang. (Majmu’ Al Fatawa war Rasail, 13/326)
Sementara kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah mengqiyaskan garis dengan sajadah, bahkan sajadah lebih utama karena lebih jelas batasnya.
وقاس الØÙ†Ùية والشاÙعية على الخط المصلى، كسجادة Ù…Ùروشة، قال الطØطاوي: وهو قياس أولى؛ لأن المصلى أبلغ ÙÙŠ دÙع المار من الخط . ولهذا قدم الشاÙعية المصلى على الخط وقالوا: قدم على الخط لأنه أظهر ÙÙŠ المراد
Kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah mengqiyaskan garis dengan tempat shalatnya seperti hamparan sajadah. Berkata Ath Thahawi: ini adalah qiyas aula, karena tempat shalat lebih mengena maknanya dalam mencegah orang lewat dibanding dengan garis. Oleh karena itu, kalangan Syafi’iyah lebih mengutamakan menggunakan tempat shalat daripada garis. Mereka mengatakan: didahulukan tempat shalat daripada garis karena itu lebih pas dan mengena maksudnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/180)
Bagi mayoritas mazhab Asy Syafi’i, tidak menjadi masalah jika sutrah adalah garis saja. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَقَالَ جÙمْهÙور أَصْØَابه بÙاسْتÙØْبَابÙÙ‡Ù ØŒ وَلَيْسَ ÙÙÙŠ ØَدÙيث Ù…ÙؤْخÙرَة الرَّØْل دَلÙيل عَلَى بÙطْلَان الْخَطّ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Menurut mayoritas sahabat-sahabatnya (Asy Syafi’i) sutrah adalah sunah, dan hadits tentang setinggi pelana kuda itu tidak menunjukkan kesalahan dengan membuat garis. Wallahu A’lam” (Ibid)
Dalam kitabnya yang lain Imam An Nawawi mengatakan:
يستØب للمصلي أن يكون بين يديه سترة من جدار أو سارية ويدنو منها بØيث لا يزيد بينهما على ثلاثة أذرع وإن كان ÙÙŠ صØراء غرز عصا ونØوها أو جمع شيئا من رØله أو متاعه وليكن قدر مؤخرة الرØÙ„ Ùإنلم يجد شيئا شاخصا خط بين يديه خطا أو بسط مصلى وقال إمام الØرمين والغزالي لا عبرة بالخط والصواب ما أطبق عليه الجمهور وهو الاكتÙاء بالخط كما إذا استقبل شيئا شاخصا.
“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat untuk membuat sutrah di hadapannya berupa dinding atau tiang dan mendekatinya, dengan keadaan antara keduanya tidak melebihi tiga hasta. Jika shalat di gurun hendaknya menancapkan tongkat dan yang semisalnya, atau dengan mengumpulkan sesuatu dari tunggangannya atau perhiasannya, hingga menjadi seukuran pelana kuda. Jika tidak menemukan suatu barang untuk sutrah, maka membuat garis di hadapannya, atau karpet tempat shalat. Berkata Imam Al Haramain dan Al Ghazali, tidak ada ‘ibrah dengan membuat garis (maksudnya tidak boleh). Yang benar adalah, apa yang diterapkan oleh jumhur, bahwa sudah mencukupi dengan garis sebagaimana jika dia berada di hadapan satu barang.” (Raudhatuth Thalibin, 1/108. Mawqi’ Al Warraq)
2. Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:
ÙˆÙŽÙÙÙŠ الْØَدÙيث٠نَدْبٌ Ù„ÙلْمÙصَلÙّي إلَى اتÙّخَاذ٠سÙتْرَة٠، وَأَنَّه٠يَكْÙÙيه٠مÙثْل٠مÙؤَخÙّرَة٠الرَّØْلÙ
“Hadits ini menunjukkan sunah-nya bagi orang shalat menggunakan pembatas, dan sudah cukup baginya seumpama ukuran pelana kuda.” (Subulus Salam, Juz.1, Hal. 497)
3. Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata:
وَقَالَ الْبَغَوÙيّ : اÙسْتَØَبَّ أَهْل٠الْعÙلْم٠الدÙّنÙوّ Ù…Ùنْ السÙّتْرَة٠بÙØَيْث٠يَكÙون٠بَيْنَه٠وَبَيْنَهَا قَدْر٠إÙمْكَان٠السÙّجÙود٠، ÙˆÙŽÙƒÙŽØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ بَيْنَ الصÙÙ‘ÙÙÙˆÙÙ .
“Para ulama menyunnahkan untuk mendekati sutrah (pembatas) dengan jarak antara dirinya dan sutrah seukuran tempat sujud, begitu pula halnya dengan mendekati shaf (yang di depannya, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1/575)
4. Para tabi’in. Diriwayatkan dari Khalid bin Abu Bakar, bahwa Al Qasim dan Salim, pernah shalat di gurun tanpa menggunakan sutrah. Dari Jabir: aku pernah melihat Ja’far dan Amir shalat tanpa menggunakan pembatas. Dari Hisyam, bahwa: aku pernah melihat ayahku shalat tanpa sutrah. Mahdi bin Maimun mengatakan: aku pernah melihat Al Hasan shalat tanpa menggunakan sutrah. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah No. 2886, 2888, 2889)
5. Imam As Sarkhasi –tokoh mazhab Hanafi- dalam kitab Al Mabsuth mengatakan:
ÙˆÙŽØ¥Ùنْ لَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ بَيْنَ يَدَيْه٠شَيْءٌ ØŒ ÙَصَلَاتÙه٠جَائÙرَةٌ Ø› Ù„ÙØ£ÙŽÙ†ÙŽÙ‘ الْأَمْرَ بÙاÙتÙّخَاذ٠السÙّتْرَة٠لَيْسَ Ù„Ùمَعْنًى رَاجÙع٠إلَى عَيْن٠الصَّلَاة٠، Ùَلَا يَمْنَع٠تَرْكÙه٠جَوَازَ الصَّلَاة٠.
“Jika dihadapannya tidak ada apa-apa, maka shalatnya itu boleh-boleh saja. Sebab, perintah menggunakan sutrah maknanya tidaklah kembali kepada kewajiban dalam shalat. Maka, tidak terlarang meninggalkannya (sutrah), shalatnya tetap boleh.” (Al Mabsuth, 2/46. Mawqi’ Al Islam)
6. Imam Muhammad bin Hasan –murid dan sahabat Imam Abu Hanifah- juga membolehkan tanpa sutrah:
ÙˆÙŽØÙŽÙƒÙŽÙ‰ أَبÙÙˆ عÙصْمَةَ عَنْ Ù…ÙØَمَّد٠رَØÙمَه٠اللَّه٠تَعَالَى إذَا لَمْ يَجÙدْ سÙتْرَةً ÙŠÙŽØ®ÙØ·ÙÙ‘ بَيْنَ يَدَيْه٠، ÙÙŽØ¥ÙÙ†ÙŽÙ‘ الْخَطَّ وَتَرْكÙه٠سَوَاءٌ Ø› Ù„Ùأَنَّه٠لَا يَبْدÙÙˆ Ù„ÙلنَّاظÙر٠مÙنْ بÙعْدÙ
“Abu ‘Ishmah menceritakan dari Muhammad Rahimahullah, jika seseorang tidak menemukan sutrah maka hendaknya dia membuat garis di hadapannya, sesungguhnya membuat garis dan meninggalkannya adalah sama saja, sebab hal itu tidak nampak dari kejauhan bagi orang yang melihatnya.” (Al Mabsuth, 2/50)
7. Imam Al Marghinani Al Hanafi juga membolehkan tanpa sutrah jika yakin aman dari orang yang lewat:
وَلَا بَأْسَ بÙتَرْك٠السÙّتْرَة٠إذَا Ø£ÙŽÙ…ÙÙ†ÙŽ الْمÙرÙورَ وَلَمْ ÙŠÙوَاجÙهْ الطَّرÙيقَ
“Tidak apa-apa meninggalkan sutrah jika memang aman dari orang yang lewat dan tidak memandang ke jalan.” (Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, 2/150. Mawqi’ Al Islam)
8. Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi memiliki pendapat yang sama dengan Imam Al Marghinani. (Fathul Qadir, 2/297. Mawqi’ Al Islam)
9. Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi mengatakan:
وَالْمÙسْتَØَبÙÙ‘ Ù„Ùمَنْ ÙŠÙصَلÙّي ÙÙÙŠ الصَّØْرَاء٠إنْ يَنْصÙبَ شَيْئًا وَيَسْتَتÙرَ ÙÙŽØ£ÙŽÙَادَ Ø£ÙŽÙ†ÙŽÙ‘ الْكَرَاهَةَ تَنْزÙيهÙيَّةٌ ÙÙŽØÙينَئÙذ٠كَانَ الْأَمْر٠لÙلنَّدَبÙ
“Disunahkan bagi yang shalat di gurun pasir untuk memasang sesuatu sebagai penghalang, maka faedahnya adalah bahwa hal itu makruh tanzih (jika tidak memakainya), saat itu perintah menunjukkan sunah.” (Imam Ibnu Nujaim, Bahr Ar Raiq, 4/95. Mawqi’ Al Islam). Beliau juga mengatakan tidak apa-apa tidak memakai sutrah jika aman dari orang yang