News

Qadha Puasa

Blog Single

Pengertian ‘Qadha’ Puasa

Secara bahasa kata Qada’ atau Qadha berarti ‘melaksanakan atau memenuhi’ entah itu kewajiban atau amalan sunnah. Dan adapun pengertian menurut istilah adalah sebuah ibadah yang dilakukan diluar dari waktu yang telah ditentukan menurut aturan syar’i karena adanya uzur, misalnya saja pada puasa yang kita bahas sekarang ini yang mana pelaksanaannya dilakukan diluar bulan Ramadhan dikarenakan adanya halangan untuk melakukannnya tepat waktu.

Namun berbeda dengan pendapat para ahli lainnya, dalam hal ini ahli bahasa Arab, mereka mengungkapkan bahwa kata Qadha’ yang banyak diartikan mengganti puasa ramadhan oleh banyak orang lebih tepat diartikan sebagai adaa’ atau adaaan’ yaitu menunaikan suatu ibadah berdasarkan waktunya sebagaimana disyariatkan dalam agama Islam. Tapi pada kenyataannya makna yang pertama jauh lebih banyak digunakan orang dan bahkan para penulis yang menyusun buku agama juga beranggapan sama. Yang jelas pembahasan kita di sini fokus pada cara pelaksanaannya dan bukan hanya pada tataran bahasanya saja.

v  Haruskah cara mengqadha puasa dilakukan secara berurutan?

Puasa sebenarnya sama dengan menjalani cara diet cepat dan alami, tapi mengenai ini mari kita simak sebuah hadis yang disampaikan oleh Rasulullah saw. sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Umar berikut ini:

قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

“Meng-Qadha’ (puasa) Ramadhan itu, jika seseorang berkehendak, maka ia boleh melaksanakannya secara terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh menunaikannya secara berurutan. ” (HR. Daruquthni)

Jadi jelas sekali bahwa dalam membayar utang puasa seseorang bisa memilih antara melakukannya secara berurutan atau secara terpisah, dalam artian pelaksanaannya dilakukan tidak berturut-turut setiap hari.

Cara Mengganti Puasa Ramadhan Menurut Pendapat Imam Mazhab: Haruskan ditunaikan pada bulan Syawal atau setelahnya?

Sudah disebutkan di atas landasan dari dalil yang valid mengenai cara mengganti puasa tapi untuk jelasnya kita juga sebaiknya mengetahui pendapat dari beberapa Imam Mazhab mengenai kebolehan dan tidaknya melakukan Qadha secara tidak berurut atau terputus-putus.

v  Yang membolehkan Qadha setelah bulan Syawal
1.      Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad – Menurut pandangan dari kedua Imam ini yang salah satunya kita kenal dengan mazhabnya yang bernama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalam mengganti puasa yang telah ditinggalkan maka tidak diharuskan melakukannya secara berturut-turut setiap hari setelah selesai menjalani puasa Ramadhan, dalam hal ini pada bulan Syawal, tapi bisa dilakukan selang seling atau semampu kita, misalnya saja senin puasa lalu kamis puasa lagi dan minggu depannya tidak lagi maka ini tak menjadi masalah atau pun kalau mau melaksanakannya pada senin kamis saja hingga lunas semua utang puasa yang telah ditinggalkan juga tak menjadi masalah selama sebelum memasuki bulan Sya’ban. Bahkan dalam pendapat ini menyatakan bahwa kebolehannya bersifat Mutlak dalam artian tidak ada larangan sama sekali jika dilakukan demikian.
2.      Imam Syafi’i dan Imam Malik – Berbeda dengan pendapat di atas yang mana kedua Imam ini berpendapat bahwa menjalankan puasa pada bulan Syawal adalah makruh dan bukan Mutlak karena beralasan bahwa pada bulan tersebut adalah waktu dimana seseorang disunnahkan menjalankan ibadah puasa sunnah sedang Qada’ puasa bisa ditunda dan dilakukan setelahnya. Pendapat ini dikuatkan oleh ayat dalam surah Al-Baqarah yakni pada ayat 185 yang mana dalam ayat tersebut tidak merincikan kapan waktu untuk mengganti puasa Ramadhan seharusnya dilaksanakan.
v  Yang mengharuskan Qada’ setelah bulan Puasa
1.      Mazhab Hambali – Pada pendapat kali ini bahkan mengatakan bahwa haram hukumnya menjalankan puasa Syawal sedang ia belum membayar utang puasa Ramadhan yang telah ditinggalkan. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang mana menurut sebagian ulama dinilai sebagai hadis Dhaif. Bahkan dalam hadisnya lebih keras lagi menyebutkan bahwa puasa seseorang tidak akan diterima jika ia menjalankan sunnah syawal sedang ia belum meng-qadha puasa wajibnya.

v  Bagaimana jika yang bekewajiban mengganti puasa Ramadhan ternyata meninggal dunia?

Sama halnya dengan hutang ia tidak akan lunas hingga ia ditunaikan, demikian pula dengan puasa Ramadhan yang ditinggalkan yang hukumnya wajib. Selama tidak dibayar maka hingga seseorang telah meninggal dunia ia tetap menanggung utang tersebut dan diakhirat akan dimintai pertanggunganjawabnya. Itulah sebabnya hutang puasa bagi orang yang telah meninggal otomatis menjadi tanggungan keluarganya, apakah anak atau istri/suaminya. Adapun cara menjalankannya terdapat 2 pendapat, yaitu:

1.      Membayar dengan fidyah

Pendapat ini menyebutkan bahwa seseorang yang menjadi pewarisnya dapat menggantinya cukup dengan membayar fidyah atau denda senilai 0,6 kg makanan pokok, dalam hal ini beras karena inilah yang biasa kita komsumsi setiap hari, sesuai dengan jumlah bilangan hari yang telah ditinggalkan si mayyit. Hal ini di dasarkan pada sebuah hadis:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

“Siapa yang meninggal dunia lalu ia mempunyai utang puasa, maka dapat diganti dengan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sesuai hari yang ditinggalkan setiap harinya.” (HR Tirmidzi)

Namun menurut sebagian ulama, hadis ini tidak bisa dijadikan dasar karena digolongkan sebagai hadis yang mauquf atau tidak dipakai karena juga tergolong gharib. Sekalipun demikian ini tetap memiliki landasan penguat yang mana masyarakat Madinah waktu itu bisa memberi makan fakir miskin sebagai pengganti puasa keluarganya yang telah meninggal tiap harinya sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan.

2.      Harus membayar dengan Qadha puasa

Pendapat ini bahkan mengharuskan membayar utang puasa orang yang telah meninggal dengan qadha’ dan bukan fidyah. Hanya saja bila ahli warisnya tidak dapat melaksanakannya maka ia boleh meminta orang lain melakukannya dengan kesepakatan yang dibuat sebelumnya, apakah dengan memberi imbalan atau selainnya selama tidak melanggar larangan agama. Mengenai ini mereka merujuk pada sebuah hadis berikut:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa yang meninggal dunia dan mempunyai kewajiban untuk meng-qadha puasa, maka walinya berpuasa untuk menggantikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini bisa dibilang lebih kuat karena hujjah yang mereka ambil berdasarkan hadis yang sahih. Dan kami menyarankan sebaiknya menjalankan pendapat kedua ini karena landasan hadisnya yang shahih. Adapun soal masyarakat Madinah yang dilakukan di atas kurang kuat untuk dijadikan alasan untuk membayar puasa dengan fidyah.

Selain puasa, Cara Diet Mayo Klinik Wajib juga anda baca sebagai referensi untuk menurunkan berat badan yang banyak dilakukan oleh artis dan yang paling trend saat ini.

Bagaimana jika jumlah hari puasa yang ditinggalkan tidak diketahui pasti?

Ini bisa saja terjadi pada wali yang ingin menggantikan puasa orang tuanya yang telah meninggal atau pada kita sendiri yang mungkin karena sudah terlalu lama tidak membayarnya jadi lupa berapa jumlah hari puasa yang telah ditinggalkan. Nah untuk ini kita bisa melakukan persamaan pada saat melakukan shalat dan kita lupa, maka agama mengajarkan sebaiknya memilih angka yang lebih sedikit atau yang paling maksimum.

Misalnya saja kita lupa apakah punya untang puasa 5 hari atau 7 hari, maka solusinya adalah memilih yang 7 hari tersebut karena dengan demikian kita lebih berhati-hati pada kewajiban puasa ramadhan yang telah ditinggalkan dan kalau pun ternyata sebenarnya hanya 5 hari maka otomatis ia akan bernilai sebagai puasa sunnah.

Cara seperti yang disebutkan Caraspot di atas jauh lebih aman karena kemungkinan meninggalkan puasa sangat kecil sebab kita memilih yang bisa meng-cover semua kemungkinan. Berbeda kalau misalnya kita memilih telah meninggalkan puasa 5 hari, sebagaimana di sebut pada contoh di atas, tapi ternyata puasa yang kita tinggalkan sebenarnya adalah 7 maka sudah barang tentu kita tidak mengqadha 2 puasa wajib kita yang mana hal tersebut akan menjadi pertanggungjawaban kita di akhirat, selama kita tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Untuk ibu hamil, apakah cukup membayar utang puasa dengan Fidyah?

Mengenai persoalan ini ada sebuah dalil dari Al-Qur’an al-Karim yang secara jelas menunjukkan kebolehan membayar fidyah sebagai ganti puasa bagi ibu hamil, yakni pada ayat berikut:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat dalam menjalankannya (jika mereka tidak menjalankan berpuasa) untuk membayar fidyah, (yakni): memberi makan seorang yang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hatinya melakukan kebajikan, maka demikianlah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah/2: 184)

1.      Pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Jubair

Para ulama di atas berpendapat bahwa bagi ibu yang sedang mengandung dan menyusui hanya diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa harus menggantinya lagi dengan qadha atau berpuasa di luar bulan Ramadhan. Pada ayat di atas jelas sekali menunjukkan kebolehan membayar fidyah bagi orang yang berat menjalankannya, termasuk untuk ibu hamil yang jika seandainya ia berpuasa dikhawatirkan dapat membahayakan janin yang ada dalam kandungannya, apalagi misalnya telah divonis kelainan tertentu pada kandungan atau janinnya yang mana ia butuh asupan makanan yang lebih, dan termasuk juga pada ibu menyusui yang mungkin saja anaknya baru lahir sehingga butuh ASI yang lebih banyak setiap harinya.  Hal ini juga didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang mana beliu pernah meminta pada seorang ibu yang sedang mengandung untuk berbukan dengan ungkapan:

أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام، فافطري، وأطعمي، عن كل يوم نصف صاع من حنطة

“Kalian seperti orang lanjut usia yang sudah tidak mampu berpuasa, maka berbuka saja, dan berilah makan pada orang miskin  (membayar fidyah) di setiap hari yang telah ditinggalkan berupa setengah sho’ dari hinthah” .

2.      Mazhab Imam Malik dan Syafi’i

Dalam mazhab Maliki dan Syafi’i, mengeluarkan pendapat yang lebih berhati-hati dimana ibu yang menyusui yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan maka ia diwajibkan membayar fidyah dan juga mengqadha puasanya. Ini terlihat sangat berat karena seseorang mendapat dua kewajiban yang mana jika ia menjalankannya sebenarnya hanya harus berpuasa saja. Tapi demi kehati-hatian agar tidak membawa utang puasa hingga mati maka disarankan untuk melakukan ini sebab meninggalkan puasa Ramadhan juga bukanlah perkara ringan, apalagi bagi orang yang tidak punya uzur sama sekali.

v  Takaran / Ukuran Fidyah Puasa

Bentuk fidyah dalam mengganti puasa Ramadhan yang dianjurkan umumnya berupa makanan pokok yang sering dikomsumsi setiap hari, jika memang setiap hari mengkomsumsi beras yang berkualitas tinggi maka fidyahnya pun harus demikian dan jangan diganti dengan kualitasnya lebih rendah karena alasan ingin lebih murah. Dan demikian juga bagi orang yang makanan pokoknya dalam bentuk lain, seperti jagung, ubi jalar, gandum dan selainnya, harus dengan jenis yang sama yang dikomsumsi setiap hari. Dan mengenai ini ada beberapa pendapat:

1)      Satu Sha’ – Untuk takaran dengan menggunakan istilah ini adalah setara dengan 4 mud yang berarti pula sama dengan jumlah takaran zakat fitrah, yakni kurang lebih 2,7 liter beras atau bahan pokok lainnya. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafiah.

general information media press gallery illustration

-->
Share this Post: