News

Gambar Tidak Tersedia

Berbaik sangka kepada Allah

Sebagai hamba-Nya yang selalu mendapatkan rahmat dan karunia, hendaknya kita selalu berbaik sangka kepada Allah SWT. Berbaik sangka kepada Allah dilakukan dengan mengharap ridho Allah, berdoa, tawakal, serta memohon ampunan dan pertolongan. Sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Al Baqarah:218)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

Allah Ta’ala berfirman, “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berbaik sangka, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Jika berprasangka buruk, maka ia mendapatkan keburukan.” (HR. Ahmad).

Ini berarti jika kita ingin mendapat kebaikan dari Allah SWT, maka hendaklah berbaik sangka kepada-Nya. Jika kita berbaik sangka kepada Allah,  maka kebaikan akan datang kepada kita.  Namum sebaliknya jika kita selalu berburuk sangka kepada Allah,  menyalahkan semua musibah pada Allah,  maka hanya keburukan lah yang akan datang.

Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya meskipun hamba-Nya justru sering mengeluh. Maka hendaknya kita selalu tawakal dan percaya akan jalan yang telah diberikan Allah kepada kita. Sebagaimana firman-Nya: :

Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al Baqarah: 216)

Berbaik sangka kepada Allah SWT memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah:

1. Jauh dari ketakutan

Dari Anas ra. sesungguhnya Nabi saw. masuk untuk menemui seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, maka Rasulullah saw. bersabda: Bagaimana keadaanmu? Pemuda itu berkata, “Ya Rasulullah saw.! aku mengharapkan rahmat Allah dan aku sangat takut akan dosadosaku.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda,Tidaklah takut dan roja berkumpul dalam hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini kecuali Allah akan memberikan kepadanya apa-apa yang diharapkannya, dan akan memberikan keamanan kepadanya dari perkara yang ditakutinya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, al-Mundziri berkata, “Hadits ini sananya hasan”).

Sebagai hamba-Nya yang selalu mendapatkan rahmat dan karunia, hendaknya kita selalu berbaik sangka kepada Allah SWT. Berbaik sangka kepada Allah dilakukan dengan mengharap ridho Allah, berdoa, tawakal, serta memohon ampunan dan pertolongan. Sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Al Baqarah:218)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

Allah Ta’ala berfirman, “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berbaik sangka, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Jika berprasangka buruk, maka ia mendapatkan keburukan.” (HR. Ahmad).

Ini berarti jika kita ingin mendapat kebaikan dari Allah SWT, maka hendaklah berbaik sangka kepada-Nya. Jika kita berbaik sangka kepada Allah,  maka kebaikan akan datang kepada kita.  Namum sebaliknya jika kita selalu berburuk sangka kepada Allah,  menyalahkan semua musibah pada Allah,  maka hanya keburukan lah yang akan datang.

Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya meskipun hamba-Nya justru sering mengeluh. Maka hendaknya kita selalu tawakal dan percaya akan jalan yang telah diberikan Allah kepada kita. Sebagaimana firman-Nya: :

Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al Baqarah: 216)

Berbaik sangka kepada Allah SWT memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah:

1. Jauh dari ketakutan

Dari Anas ra. sesungguhnya Nabi saw. masuk untuk menemui seorang pemuda yang sedang sakaratul maut, maka Rasulullah saw. bersabda: Bagaimana keadaanmu? Pemuda itu berkata, “Ya Rasulullah saw.! aku mengharapkan rahmat Allah dan aku sangat takut akan dosadosaku.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda,Tidaklah takut dan roja berkumpul dalam hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini kecuali Allah akan memberikan kepadanya apa-apa yang diharapkannya, dan akan memberikan keamanan kepadanya dari perkara yang ditakutinya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, al-Mundziri berkata, “Hadits ini sananya hasan”).

 

Seseorang yang selalu berbaik sangka kepada Allah tentunya terlepas dari berbagai rasa ketakutan karena hatinya telah yakin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi dirinya.

2. Selalu dekat dengan Allah

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku berdasarkan pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia berdzikir mengingat-Ku dalam suatu jama’ah, maka Aku akan sebut-sebut dia dalam jama’ah yang lebih baik dari mereka. Jika ia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Apabila ia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan jalan cepat.” (HR. Al-Bukhari).

3. Diampuni dosanya

Dari Anas ra. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

Allah berfirman,

“Wahai anak Adam!, sesungguhnya engkau selama berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku pasti akan memberikan ampunan kepadamu atas segala dosa-dosamu dan Aku tidak akan peduli. Wahai anak Adam!, andaikata dosa-dosamu sampai ke langit kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, maka pasti Aku akan memberikan ampunan kepadamu. Wahai Anak Adam!, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku, tapi engkau tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, maka pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi.” (HR. at- Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini hasan”)

4. Ibadah yang baik

Berbaik sangka kepada Allah SWT merupakan salah satu ibadah.

Sebagaimana sabda Rasul : “Sesungguhnya berprasangka baik pada Allah adalah termasuk sebaik-baiknya ibadah” (HR. Abu Daud).

5. Terhindar dari keburukan di akhirat

Dari Fadhalah bin Abid, dari Rasulullah SAW. ia bersabda:

Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari kiamat yaitu, Manusia yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-Izzah (keperkasaan); Manusia yang meragukan perintah Allah; Dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah. (HR. Ahmad, ath-Thabrâni, dan al-Bazzâr. al-Haitsami berkata, “Perawinya terpercaya.” al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya)

6. Terhindar dari dosa besar dalam Islam

Dari Ibnu Abbas, ada seorang lelaki berkata, “Ya Rasulullah saw.! apa dosa besar itu?” Rasulullah saw. bersabda: Dosa besar itu adalah musyrik kepada Allah, putus asa dari karunia Allah, dan putus harapan dari rahmat Allah. (al-Haitsami berkata, “Telah diriwayatkan oleh al-Bazzâr dan ath- Thabrâni para perawinya terpercaya.” As-Suyuti dan al-Iraqi menghasankan hadits ini)

7. Mendapat rahmat Allah

وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(Q.S. Al A’raaf:56)

8. Lebih optimis

Seseorang yang selalu berbaik sangka pada Allah SWT akan lebih optimis dalam menjalani dan menata kehidupannya.

Sebagaimana firman Allah SWT: “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al Baqarah:112)

9. Menjadi pribadi yang ikhlas

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا۟ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَقَالُوا۟ حَسْبُنَا ٱللَّهُ سَيُؤْتِينَا ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ وَرَسُولُهُۥٓ إِنَّآ إِلَى ٱللَّهِ رَٰغِبُونَ

Artinya :”Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” ( Q.S. At Taubah: 59)

Itulah beberapa keutamaan berbaik sangka kepada Allah SWT. Sifat husnudzhon kepada Allah memang harus kita tanamkan dalam hati kita.

Sebagaimana sabda Rasul : Dari Abu Sufyan, dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata : tiga hari sebelum meninggalnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, aku mendengar beliau bersabda:  Janganlah  seorang diantara kalian meninggal  kecuali  dia telah berbaik sangka kepada Allah “ (H.R. Muslim)

Sumber : https://dalamislam.com/akhlaq/amalan-shaleh/keutamaan-berbaik-sangka-kepada-allah

Gambar Tidak Tersedia

Optimalkan Ibadah di Bulan Syaban

Bulan Sya’ban adalah bulan yang terletak setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Ada juga ibadah-ibadah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisinya dengan memperbanyak berpuasa di bulan ini sebagai persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Bulan ini dinamakan bulan Sya’ban karena di saat penamaan bulan ini banyak orang Arab yang berpencar-pencar mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah lepas bulan Rajab. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan:

 

وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَقِيْلَ فِيْهِ غُيْرُ ذلِكَ.

“Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.”1

Adapun hadits yang berbunyi:

إنَّمَا سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فِيْهِ خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.

Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.”2

Hadits tersebut tidak benar berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang menyepelekan bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal tersebut di dalam hadits berikut:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan di banding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban ?” Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dia adalah bulan amalan-amalan di angkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan saya sedang berpuasa”.3

v  Amalan-amalan apa yang disyariatkan pada bulan ini?

Ada beberapa amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para as-salafush-shalih pada bulan ini. Amalan-amalan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Memperbanyak puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa pada bulan ini tidak seperti beliau berpuasa pada bulan-bulan yang lain.

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa dalam sebulan kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban.”4

Begitu pula istri beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ.

“Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.”5

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir berpuasa Sya’ban seluruhnya. Para ulama menyebutkan bahwa puasa di bulan Sya’ban meskipun dia hanya puasa sunnah, tetapi memiliki peran penting untuk menutupi kekurangan puasa wajib di bulan Ramadhan. Seperti shalat fardhu, shalat fardhu memiliki shalat sunnah rawatib, yaitu: qabliyah dan ba’diyah. Shalat-shalat tersebut bisa menutupi kekurangan shalat fardhu yang dikerjakan. Sama halnya dengan puasa Ramadhan, dia memiliki puasa sunnah di bulan Sya’ban dan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Orang yang memulai puasa di bulan Sya’ban insya Allah tidak terlalu kesusahan menghadapi bulan Ramadhan.

2.      Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an mulai diperbanyak dari awal bulan Sya’ban , sehingga ketika menghadapi bulan Ramadhan, seorang muslim akan bisa menambah lebih banyak lagi bacaan Al-Qur’an-nya. Salamah bin Kuhail rahimahullah berkata:

كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ

“Dulu dikatakan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Begitu pula yang dilakukan oleh ‘Amr bin Qais rahimahullah apabila beliau memasuki bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan mengosongkan dirinya untuk membaca Al-Qur’an.6

3.      Mengerjakan amalan-amalan shalih

Seluruh amalan shalih disunnahkan dikerjakan di setiap waktu. Untuk menghadapi bulan Ramadhan para ulama terdahulu membiasakan amalan-amalan shalih semenjak datangnya bulan Sya’ban , sehingga mereka sudah terlatih untuk menambahkan amalan-amalan mereka ketika di bulan Ramadhan. Abu Bakr Al-Balkhi rahimahullah pernah mengatakan:

شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ.

“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Sya’ban adalah bulan memanen tanaman.” Dan dia juga mengatakan:

مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.

“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia memanen hasilnya di bulan Ramadhan.”7

4.      Menjauhi perbuatan syirik dan permusuhan di antara kaum muslimin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik dan orang-orang yang tidak memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.

Sesungguhnya Allah muncul di malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin.”8

Musyahin adalah orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara khusus tentang orang yang memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.

Pintu-pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis dan akan diampuni seluruh hamba kecuali orang yang berbuat syirik kepada Allah, dikecualikan lagi orang yang memiliki permusuhan antara dia dengan saudaranya. Kemudian dikatakan, ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai’9

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menjauhi segala bentuk kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar, begitu juga kita menjauhi segala bentuk permusuhan dengan teman-teman muslim kita.

5.      Bagaimana hukum menghidupkan malam pertengahan bulan Sya’ban?

Pada hadits di atas telah disebutkan keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban. Apakah di-sunnah-kan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah? Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وَصَلَاةُ الرَّغَائِبِ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ لَمْ يُصَلِّهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ، وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَفِيهَا فَضْلٌ، وَكَانَ فِي السَّلَفِ مَنْ يُصَلِّي فِيهَا، لَكِنَّ الِاجْتِمَاعَ فِيهَا لِإِحْيَائِهَا فِي الْمَسَاجِدِ بِدْعَةٌ وَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ الْأَلْفِيَّةُ.

“Dan shalat Raghaib adalah bid’ah yang diada-adakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat seperti itu dan tidak ada seorang pun dari salaf melakukannya. Adapun malam pertengahan di bulan Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan, dulu di antara kaum salaf (orang yang terdahulu) ada yang shalat di malam tersebut. Akan tetapi, berkumpul-kumpul di malam tersebut untuk menghidupkan masjid-masjid adalah bid’ah, begitu pula dengan shalat alfiyah.”10

Jumhur ulama memandang sunnah menghidupkan malam pertengahan di bulan Sya’ban dengan berbagai macam ibadah. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara berjamaah.11 Sebagian ulama memandang tidak ada keutamaan ibadah khusus pada malam tersebut, karena tidak dinukil dalam hadits yang shahih atau hasan dari Nabi <span style="m

Gambar Tidak Tersedia

Qadha Puasa

Pengertian ‘Qadha’ Puasa

Secara bahasa kata Qada’ atau Qadha berarti ‘melaksanakan atau memenuhi’ entah itu kewajiban atau amalan sunnah. Dan adapun pengertian menurut istilah adalah sebuah ibadah yang dilakukan diluar dari waktu yang telah ditentukan menurut aturan syar’i karena adanya uzur, misalnya saja pada puasa yang kita bahas sekarang ini yang mana pelaksanaannya dilakukan diluar bulan Ramadhan dikarenakan adanya halangan untuk melakukannnya tepat waktu.

Namun berbeda dengan pendapat para ahli lainnya, dalam hal ini ahli bahasa Arab, mereka mengungkapkan bahwa kata Qadha’ yang banyak diartikan mengganti puasa ramadhan oleh banyak orang lebih tepat diartikan sebagai adaa’ atau adaaan’ yaitu menunaikan suatu ibadah berdasarkan waktunya sebagaimana disyariatkan dalam agama Islam. Tapi pada kenyataannya makna yang pertama jauh lebih banyak digunakan orang dan bahkan para penulis yang menyusun buku agama juga beranggapan sama. Yang jelas pembahasan kita di sini fokus pada cara pelaksanaannya dan bukan hanya pada tataran bahasanya saja.

v  Haruskah cara mengqadha puasa dilakukan secara berurutan?

Puasa sebenarnya sama dengan menjalani cara diet cepat dan alami, tapi mengenai ini mari kita simak sebuah hadis yang disampaikan oleh Rasulullah saw. sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Umar berikut ini:

قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

“Meng-Qadha’ (puasa) Ramadhan itu, jika seseorang berkehendak, maka ia boleh melaksanakannya secara terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh menunaikannya secara berurutan. ” (HR. Daruquthni)

Jadi jelas sekali bahwa dalam membayar utang puasa seseorang bisa memilih antara melakukannya secara berurutan atau secara terpisah, dalam artian pelaksanaannya dilakukan tidak berturut-turut setiap hari.

Cara Mengganti Puasa Ramadhan Menurut Pendapat Imam Mazhab: Haruskan ditunaikan pada bulan Syawal atau setelahnya?

Sudah disebutkan di atas landasan dari dalil yang valid mengenai cara mengganti puasa tapi untuk jelasnya kita juga sebaiknya mengetahui pendapat dari beberapa Imam Mazhab mengenai kebolehan dan tidaknya melakukan Qadha secara tidak berurut atau terputus-putus.

v  Yang membolehkan Qadha setelah bulan Syawal
1.      Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad – Menurut pandangan dari kedua Imam ini yang salah satunya kita kenal dengan mazhabnya yang bernama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalam mengganti puasa yang telah ditinggalkan maka tidak diharuskan melakukannya secara berturut-turut setiap hari setelah selesai menjalani puasa Ramadhan, dalam hal ini pada bulan Syawal, tapi bisa dilakukan selang seling atau semampu kita, misalnya saja senin puasa lalu kamis puasa lagi dan minggu depannya tidak lagi maka ini tak menjadi masalah atau pun kalau mau melaksanakannya pada senin kamis saja hingga lunas semua utang puasa yang telah ditinggalkan juga tak menjadi masalah selama sebelum memasuki bulan Sya’ban. Bahkan dalam pendapat ini menyatakan bahwa kebolehannya bersifat Mutlak dalam artian tidak ada larangan sama sekali jika dilakukan demikian.
2.      Imam Syafi’i dan Imam Malik – Berbeda dengan pendapat di atas yang mana kedua Imam ini berpendapat bahwa menjalankan puasa pada bulan Syawal adalah makruh dan bukan Mutlak karena beralasan bahwa pada bulan tersebut adalah waktu dimana seseorang disunnahkan menjalankan ibadah puasa sunnah sedang Qada’ puasa bisa ditunda dan dilakukan setelahnya. Pendapat ini dikuatkan oleh ayat dalam surah Al-Baqarah yakni pada ayat 185 yang mana dalam ayat tersebut tidak merincikan kapan waktu untuk mengganti puasa Ramadhan seharusnya dilaksanakan.
v  Yang mengharuskan Qada’ setelah bulan Puasa
1.      Mazhab Hambali – Pada pendapat kali ini bahkan mengatakan bahwa haram hukumnya menjalankan puasa Syawal sedang ia belum membayar utang puasa Ramadhan yang telah ditinggalkan. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang mana menurut sebagian ulama dinilai sebagai hadis Dhaif. Bahkan dalam hadisnya lebih keras lagi menyebutkan bahwa puasa seseorang tidak akan diterima jika ia menjalankan sunnah syawal sedang ia belum meng-qadha puasa wajibnya.

v  Bagaimana jika yang bekewajiban mengganti puasa Ramadhan ternyata meninggal dunia?

Sama halnya dengan hutang ia tidak akan lunas hingga ia ditunaikan, demikian pula dengan puasa Ramadhan yang ditinggalkan yang hukumnya wajib. Selama tidak dibayar maka hingga seseorang telah meninggal dunia ia tetap menanggung utang tersebut dan diakhirat akan dimintai pertanggunganjawabnya. Itulah sebabnya hutang puasa bagi orang yang telah meninggal otomatis menjadi tanggungan keluarganya, apakah anak atau istri/suaminya. Adapun cara menjalankannya terdapat 2 pendapat, yaitu:

1.      Membayar dengan fidyah

Pendapat ini menyebutkan bahwa seseorang yang menjadi pewarisnya dapat menggantinya cukup dengan membayar fidyah atau denda senilai 0,6 kg makanan pokok, dalam hal ini beras karena inilah yang biasa kita komsumsi setiap hari, sesuai dengan jumlah bilangan hari yang telah ditinggalkan si mayyit. Hal ini di dasarkan pada sebuah hadis:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

“Siapa yang meninggal dunia lalu ia mempunyai utang puasa, maka dapat diganti dengan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sesuai hari yang ditinggalkan setiap harinya.” (HR Tirmidzi)

Namun menurut sebagian ulama, hadis ini tidak bisa dijadikan dasar karena digolongkan sebagai hadis yang mauquf atau tidak dipakai karena juga tergolong gharib. Sekalipun demikian ini tetap memiliki landasan penguat yang mana masyarakat Madinah waktu itu bisa memberi makan fakir miskin sebagai pengganti puasa keluarganya yang telah meninggal tiap harinya sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan.

2.      Harus membayar dengan Qadha puasa

Pendapat ini bahkan mengharuskan membayar utang puasa orang yang telah meninggal dengan qadha’ dan bukan fidyah. Hanya saja bila ahli warisnya tidak dapat melaksanakannya maka ia boleh meminta orang lain melakukannya dengan kesepakatan yang dibuat sebelumnya, apakah dengan memberi imbalan atau selainnya selama tidak melanggar larangan agama. Mengenai ini mereka merujuk pada sebuah hadis berikut:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa yang meninggal dunia dan mempunyai kewajiban untuk meng-qadha puasa, maka walinya berpuasa untuk menggantikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini bisa dibilang lebih kuat karena hujjah yang mereka ambil berdasarkan hadis yang sahih. Dan kami menyarankan sebaiknya menjalankan pendapat kedua ini karena landasan hadisnya yang shahih. Adapun soal masyarakat Madinah yang dilakukan di atas kurang kuat untuk dijadikan alasan untuk membayar puasa dengan fidyah.

Selain puasa, Cara Diet Mayo Klinik Wajib juga anda baca sebagai referensi untuk menurunkan berat badan yang banyak dilakukan oleh artis dan yang paling trend saat ini.

Bagaimana jika jumlah hari puasa yang ditinggalkan tidak diketahui pasti?

Ini bisa saja terjadi pada wali yang ingin menggantikan puasa orang tuanya yang telah meninggal atau pada kita sendiri yang mungkin karena sudah terlalu lama tidak membayarnya jadi lupa berapa jumlah hari puasa yang telah ditinggalkan. Nah untuk ini kita bisa melakukan persamaan pada saat melakukan shalat dan kita lupa, maka agama mengajarkan sebaiknya memilih angka yang lebih sedikit atau yang paling maksimum.

Misalnya saja kita lupa apakah punya untang puasa 5 hari atau 7 hari, maka solusinya adalah memilih yang 7 hari tersebut karena dengan demikian kita lebih berhati-hati pada kewajiban puasa ramadhan yang telah ditinggalkan dan kalau pun ternyata sebenarnya hanya 5 hari maka otomatis ia akan bernilai sebagai puasa sunnah.

Cara seperti yang disebutkan Caraspot di atas jauh lebih aman karena kemungkinan meninggalkan puasa sangat kecil sebab kita memilih yang bisa meng-cover semua kemungkinan. Berbeda kalau misalnya kita memilih telah meninggalkan puasa 5 hari, sebagaimana di sebut pada contoh di atas, tapi ternyata puasa yang kita tinggalkan sebenarnya adalah 7 maka sudah barang tentu kita tidak mengqadha 2 puasa wajib kita yang mana hal tersebut akan menjadi pertanggungjawaban kita di akhirat, selama kita tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Untuk ibu hamil, apakah cukup membayar utang puasa dengan Fidyah?

Mengenai persoalan ini ada sebuah dalil dari Al-Qur’an al-Karim yang secara jelas menunjukkan kebolehan membayar fidyah sebagai ganti puasa bagi ibu hamil, yakni pada ayat berikut:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat dalam menjalankannya (jika mereka tidak menjalankan berpuasa) untuk membayar fidyah, (yakni): memberi makan seorang yang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hatinya melakukan kebajikan, maka demikianlah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah/2: 184)

1.      Pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Jubair

Para ulama di atas berpendapat bahwa bagi ibu yang sedang mengandung dan menyusui hanya diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa harus menggantinya lagi dengan qadha atau berpuasa di luar bulan Ramadhan. Pada ayat di atas jelas sekali menunjukkan kebolehan membayar fidyah bagi orang yang berat menjalankannya, termasuk untuk ibu hamil yang jika seandainya ia berpuasa dikhawatirkan dapat membahayakan janin yang ada dalam kandungannya, apalagi misalnya telah divonis kelainan tertentu pada kandungan atau janinnya yang mana ia butuh asupan makanan yang lebih, dan termasuk juga pada ibu menyusui yang mungkin saja anaknya baru lahir sehingga butuh ASI yang lebih banyak setiap harinya.  Hal ini juga didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang mana beliu pernah meminta pada seorang ibu yang sedang mengandung untuk berbukan dengan ungkapan:

أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام، فافطري، وأطعمي، عن كل يوم نصف صاع من حنطة

“Kalian seperti orang lanjut usia yang sudah tidak mampu berpuasa, maka berbuka saja, dan berilah makan pada orang miskin  (membayar fidyah) di setiap hari yang telah ditinggalkan berupa setengah sho’ dari hinthah” .

2.      Mazhab Imam Malik dan Syafi’i

Dalam mazhab Maliki dan Syafi’i, mengeluarkan pendapat yang lebih berhati-hati dimana ibu yang menyusui yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan maka ia diwajibkan membayar fidyah dan juga mengqadha puasanya. Ini terlihat sangat berat karena seseorang mendapat dua kewajiban yang mana jika ia menjalankannya sebenarnya hanya harus berpuasa saja. Tapi demi kehati-hatian agar tidak membawa utang puasa hingga mati maka disarankan untuk melakukan ini sebab meninggalkan puasa Ramadhan juga bukanlah perkara ringan, apalagi bagi orang yang tidak punya uzur sama sekali.

v  Takaran / Ukuran Fidyah Puasa

Bentuk fidyah dalam mengganti puasa Ramadhan yang dianjurkan umumnya berupa makanan pokok yang sering dikomsumsi setiap hari, jika memang setiap hari mengkomsumsi beras yang berkualitas tinggi maka fidyahnya pun harus demikian dan jangan diganti dengan kualitasnya lebih rendah karena alasan ingin lebih murah. Dan demikian juga bagi orang yang makanan pokoknya dalam bentuk lain, seperti jagung, ubi jalar, gandum dan selainnya, harus dengan jenis yang sama yang dikomsumsi setiap hari. Dan mengenai ini ada beberapa pendapat:

1)      Satu Sha’ – Untuk takaran dengan menggunakan istilah ini adalah setara dengan 4 mud yang berarti pula sama dengan jumlah takaran zakat fitrah, yakni kurang lebih 2,7 liter beras atau bahan pokok lainnya. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafiah.

Read More

Gambar Tidak Tersedia

Sutrah Dalam Shalat

Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan meletakkan sutrah di hadapan orang yang shalat adalah sunah, tanpa menggunakan sutrah shalatnya tetap sah, tetapi dia telah meninggalkan sunah. Segolongan lain mengatakan wajib memakai sutrah. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:

 “… Tetapi sutrah itu bukan kewajiban, itu hanyalah sunah, maka siapa saja yang shalat tanpa sutrah maka tidak apa-apa.” (Fatawa Nuur ‘Ala Ad Darb, 9/307)

Dalam kesempatan lain, Beliau juga mengatakan:

فالحاصل أن هذا الحديث الذي فيه الخط لا بأس به على الصحيح، وهو عند الحاجة وعند عدم تيسر الجدار والعصا المنصوبة يخط خطا، وليست السترة واجبة، فلو صلى إلى غير سترة صحت صلاته، ولكن يكون ترك السنة

Kesimpulannya, hadits ini menunjukkan bahwa yang benar adalah membuat sutrah dengan garis adalah tidak apa-apa, yaitu ketika memang hal itu dibutuhkan dan ketika sulit mendapatkan dinding dan tongkat untuk membuat sebuah garis, dan sutrah bukanlah kewajiban, seandainya shalat tanpa memakai sutrah maka shalatnya tetap sah, tetapi dia meninggalkan sunah. (Ibid, 9/310)

Dan, Sutrah sudah mencukupi walau dengan garis atau ujung sajadah, namun lebih utama dengan adanya benda yang nampak setinggi pelana kuda atau lebih, seperti tas, kursi, meja, tiang, dan dinding. Berikut ini keterangan para ulama.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata:

السترة للمصلي جائزة بكل شيء حتى لو كان سهماً لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إذا صلى أحدكم فليستر لصلاته ولو بسهم، بل قال العلماء إنه يمكن أن يستر بالخيط وبطرف السجادة بل جاء في الحديث عن النبي عليه الصلاة والسلام أن من لم يجد عصاً فليخط خطاً، كما في حديث أبي هريرة عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: “إذا صلى أحدكم فليجعل تلقاء وجهه شيئاً، فإن لم يجد فلينصب عصاً، فإن لم يكن معه عصاً فليخط خطاً، ولا يضره ما مر بين يديه” . رواه الإمام أحمد، وقال ابن حجر في البلوغ: ولم يصب من زعم أنه مضطرب، بل هو حسن. وكل هذا يدل على أن السترة لا يشترط أن تكون كبيرة، وإنما يكتفي فيها بما يدل على التستر.

Sutrah untuk orang shalat boleh menggunakan apa saja walau dengan busur panah, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kalian shalat hendaknya dia membuat sutrah (penghalang) walau dengan busur panah.” Bahkan para ulama mengatakan bahwa dimungkinkan membuat sutrah dengan garis dan ujung sajadah, bahkan terdapat hadits dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang tidak memiliki tongkat, maka hendaknya dia membuat garis sebagaimana hadits Abu Hurairah dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu. (HR. Ahmad)

Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Tidak benar pihak yang menyangka hadits ini mudhtharib (guncang), bahkan hadits ini hasan.” Semua ini menunjukkan bahwa sutrah tidak disyaratkan mesti dengan sesuatu yang besar, dia sudah mencukupi dengan apa-apa yang bisa menunjukkan adanya penghalang. (Majmu’ Al Fatawa war Rasail, 13/326)

Sementara kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah mengqiyaskan garis dengan sajadah, bahkan sajadah lebih utama karena lebih jelas batasnya.

وقاس الحنفية والشافعية على الخط المصلى، كسجادة مفروشة، قال الطحطاوي: وهو قياس أولى؛ لأن المصلى أبلغ في دفع المار من الخط . ولهذا قدم الشافعية المصلى على الخط وقالوا: قدم على الخط لأنه أظهر في المراد

Kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah mengqiyaskan garis dengan tempat shalatnya seperti hamparan sajadah. Berkata Ath Thahawi: ini adalah qiyas aula, karena tempat shalat lebih mengena maknanya dalam mencegah orang lewat dibanding dengan garis. Oleh karena itu, kalangan Syafi’iyah lebih mengutamakan menggunakan tempat shalat daripada garis. Mereka mengatakan: didahulukan tempat shalat daripada garis karena itu lebih pas dan mengena maksudnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/180)

Bagi mayoritas mazhab Asy Syafi’i, tidak menjadi masalah jika sutrah adalah garis saja. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَقَالَ جُمْهُور أَصْحَابه بِاسْتِحْبَابِهِ ، وَلَيْسَ فِي حَدِيث مُؤْخِرَة الرَّحْل دَلِيل عَلَى بُطْلَان الْخَطّ . وَاَللَّه أَعْلَم .

“Menurut mayoritas sahabat-sahabatnya (Asy Syafi’i) sutrah adalah sunah, dan hadits tentang setinggi pelana kuda itu tidak menunjukkan kesalahan dengan membuat garis. Wallahu A’lam” (Ibid)

Dalam kitabnya yang lain Imam An Nawawi mengatakan:

يستحب للمصلي أن يكون بين يديه سترة من جدار أو سارية ويدنو منها بحيث لا يزيد بينهما على ثلاثة أذرع وإن كان في صحراء غرز عصا ونحوها أو جمع شيئا من رحله أو متاعه وليكن قدر مؤخرة الرحل فإنلم يجد شيئا شاخصا خط بين يديه خطا أو بسط مصلى وقال إمام الحرمين والغزالي لا عبرة بالخط والصواب ما أطبق عليه الجمهور وهو الاكتفاء بالخط كما إذا استقبل شيئا شاخصا.

“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat untuk membuat sutrah di hadapannya berupa dinding atau tiang dan mendekatinya, dengan keadaan antara keduanya tidak melebihi tiga hasta. Jika shalat di gurun hendaknya menancapkan tongkat dan yang semisalnya, atau dengan mengumpulkan sesuatu dari tunggangannya atau perhiasannya, hingga menjadi seukuran pelana kuda. Jika tidak menemukan suatu barang untuk sutrah, maka membuat garis di hadapannya, atau karpet tempat shalat. Berkata Imam Al Haramain dan Al Ghazali, tidak ada ‘ibrah dengan membuat garis (maksudnya tidak boleh). Yang benar adalah, apa yang diterapkan oleh jumhur, bahwa sudah mencukupi dengan garis sebagaimana jika dia berada di hadapan satu barang.” (Raudhatuth Thalibin, 1/108. Mawqi’ Al Warraq)

2. Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ نَدْبٌ لِلْمُصَلِّي إلَى اتِّخَاذِ سُتْرَةٍ ، وَأَنَّهُ يَكْفِيهِ مِثْلُ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ

“Hadits ini menunjukkan sunah-nya bagi orang shalat menggunakan pembatas, dan sudah cukup baginya seumpama ukuran pelana kuda.” (Subulus Salam, Juz.1, Hal. 497)

3. Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata:

وَقَالَ الْبَغَوِيّ : اِسْتَحَبَّ أَهْلُ الْعِلْمِ الدُّنُوّ مِنْ السُّتْرَةِ بِحَيْثُ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا قَدْرُ إِمْكَانِ السُّجُودِ ، وَكَذَلِكَ بَيْنَ الصُّفُوفِ .

“Para ulama menyunnahkan untuk mendekati sutrah (pembatas) dengan jarak antara dirinya dan sutrah seukuran tempat sujud, begitu pula halnya dengan mendekati shaf (yang di depannya, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1/575)

4. Para tabi’in. Diriwayatkan dari Khalid bin Abu Bakar, bahwa Al Qasim dan Salim, pernah shalat di gurun tanpa menggunakan sutrah. Dari Jabir: aku pernah melihat Ja’far dan Amir shalat tanpa menggunakan pembatas. Dari Hisyam, bahwa: aku pernah melihat ayahku shalat tanpa sutrah. Mahdi bin Maimun mengatakan: aku pernah melihat Al Hasan shalat tanpa menggunakan sutrah. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah No. 2886, 2888, 2889)

5. Imam As Sarkhasi –tokoh mazhab Hanafi- dalam kitab Al Mabsuth mengatakan:

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ ، فَصَلَاتُهُ جَائِرَةٌ ؛ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِاِتِّخَاذِ السُّتْرَةِ لَيْسَ لِمَعْنًى رَاجِعٍ إلَى عَيْنِ الصَّلَاةِ ، فَلَا يَمْنَعُ تَرْكُهُ جَوَازَ الصَّلَاةِ .

“Jika dihadapannya tidak ada apa-apa, maka shalatnya itu boleh-boleh saja. Sebab, perintah menggunakan sutrah maknanya tidaklah kembali kepada kewajiban dalam shalat. Maka, tidak terlarang meninggalkannya (sutrah), shalatnya tetap boleh.” (Al Mabsuth, 2/46. Mawqi’ Al Islam)

6. Imam Muhammad bin Hasan –murid dan sahabat Imam Abu Hanifah- juga membolehkan tanpa sutrah:

وَحَكَى أَبُو عِصْمَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا لَمْ يَجِدْ سُتْرَةً يَخُطُّ بَيْنَ يَدَيْهِ ، فَإِنَّ الْخَطَّ وَتَرْكُهُ سَوَاءٌ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَبْدُو لِلنَّاظِرِ مِنْ بُعْدٍ

“Abu ‘Ishmah menceritakan dari Muhammad Rahimahullah, jika seseorang tidak menemukan sutrah maka hendaknya dia membuat garis di hadapannya, sesungguhnya membuat garis dan meninggalkannya adalah sama saja, sebab hal itu tidak nampak dari kejauhan bagi orang yang melihatnya.” (Al Mabsuth, 2/50)

7. Imam Al Marghinani Al Hanafi juga membolehkan tanpa sutrah jika yakin aman dari orang yang lewat:

وَلَا بَأْسَ بِتَرْكِ السُّتْرَةِ إذَا أَمِنَ الْمُرُورَ وَلَمْ يُوَاجِهْ الطَّرِيقَ

“Tidak apa-apa meninggalkan sutrah jika memang aman dari orang yang lewat dan tidak memandang ke jalan.” (Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, 2/150. Mawqi’ Al Islam)

8. Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi memiliki pendapat yang sama dengan Imam Al Marghinani. (Fathul Qadir, 2/297. Mawqi’ Al Islam)

9. Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi mengatakan:

وَالْمُسْتَحَبُّ لِمَنْ يُصَلِّي فِي الصَّحْرَاءِ إنْ يَنْصِبَ شَيْئًا وَيَسْتَتِرَ فَأَفَادَ أَنَّ الْكَرَاهَةَ تَنْزِيهِيَّةٌ فَحِينَئِذٍ كَانَ الْأَمْرُ لِلنَّدَبِ

“Disunahkan bagi yang shalat di gurun pasir untuk memasang sesuatu sebagai penghalang, maka faedahnya adalah bahwa hal itu makruh tanzih (jika tidak memakainya), saat itu perintah menunjukkan sunah.” (Imam Ibnu Nujaim, Bahr Ar Raiq, 4/95. Mawqi’ Al Islam). Beliau juga mengatakan tidak apa-apa tidak memakai sutrah jika aman dari orang yang

Gambar Tidak Tersedia

Hikmah Dibalik Peristiwa Isra Miraj Rasulullah SAW

Pada suatu malam yang dingin tanggal 27 Rajab, tepatnya 10 tahun setelah Rasulullah SAW menerima wahyu kenabian, Allah SWT. memberangkatkan hamba-Nya yang terkasih-Nya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian naik ke langit ke-7 menuju Sidratul Muntaha. Semuanya tentu tahu tentang peristiwa tersebut karena setiap tahunnya umat muslim di Indonesia memperingatinya. Tapi adakah di antara mereka yang mengetahui peristiwa tersebut kemudian memahami ‘kenapa Allah memberangkatkan seorang hamba-Nya yang bernama Muhammad SAW itu?’

Dan dalam tulisan berikut ini kita akan membahasnya secara singkat tentang hikmah di balik Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw. Kenapa kita harus membahasnya? Ada dua tujuan; Pertama, kita semua sepakat dan meyakini bahwa setiap kejadian dan peristiwa pasti ada hikmah yang terkandung tentunya bagi orang-orang yang berakal, kedua, dalam pembahasan ini diharapkan setelah membaca tulisan ini dapat meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT yang begitu besar kekuasaan-Na. Berikut hikmah yang dapat saya rangkum dari buku Sirah Nabawiyah.

1. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan yang nyata, bukan perjalanan ruhani/mimpi atau khayalan.

Sungguh tak bisa dibayangkan apabila perjalanan Isra’ Mi’raj yang Rasulullah jalankan merupakan hanya perjalanan ruhani alias hanya mimpi, karena jika hal itu yang terjadi maka perjalanan Isra’ Mi’raj tidak ada bedanya dengan wahyu-wahyu yang Rasulullah terima baik melalui bisikan Jibril maupun dari mimpi. Sehingga peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa dijadikan pembuktian keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sepulangnya Rasulullah dari perjalanan Isra’ dan Mi’raj-nya, beliau mengumumkan tentang apa yang telah dialaminya semalam kepada kaumnya. Dan sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut sebuah perjalanan yang dilakukannya dengan jiwa dan ruhnya, maka seketika itu banyak dari kaum Quraisy yang menentang dan mencemoohnya dengan sebutan ‘gila’. Kaumnya beranggapan mana mungkin perjalanan dari Masjidil Haram yang di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di negeri Syam (Palestina) hanya dengan waktu semalaman, padahal mereka jika hendak ke negeri Syam untuk berdagang membutuhkan waktu hingga 1 bulan lamanya. Tak pelak peristiwa Isra’ Mi’raj yang menurut mereka tidak masuk akal membuat beberapa orang yang baru masuk Islam tergoyahkan keimanannya dan kembali menjadi murtad.

2. Isra’ Mi’raj adalah jamuan kemuliaan dari Allah, penghibur hati, dan pengganti dari apa yang dialami Rasulullah SAW ketika berada di Thaif yang mendapatkan penghinaan, penolakan dan pengusiran.

Sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi, Rasulullah SAW terus mengalami ujian yang sangat berat. Mulai dari embargo ekonomi hingga dikucilkan dari kehidupan sosial yang dilakukan oleh Kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib, kemudian cobaan yang sangat berat diterima oleh Rasulullah SAW adalah meninggalnya orang-orang yang terkasihinya dalam waktu yang berdekatan yaitu meninggalnya pamannya Abu Thalib bin Abdul Muthalib serta istrinya tercinta Khadijah yang selalu menemaninya dan mendukungnya dengan jiwa, raga dan hartanya dalam perjalanan dakwah Rasulullah. Lalu hingga pengusiran, penolakan dan penghinaan kepada apa yang Rasulullah dakwahkan kepada penduduk kota Thaif.

3. Isra’ bukanlah peristiwa yang sederhana. Tetapi peristiwa yang menampakkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang paling besar.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-Isra’: 1 dan An-Najm: 13-18 bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan pembuktian dan menampakkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang paling besar. Peristiwa Isra’ Mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang tidak bisa Allah lakukan, dan hal tersebut terkadang masih saja di antara kita yang meragukan tentang kekuasaan Allah yang sangatlah besar, sehingga membuat kita menjadi ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya.

4. Peristiwa Isra’ Mi’raj membuktikan bahwa risalah yang dibawa oleh Rasulullah adalah bersifat universal.

Perjalanan Isra’ dari Masjidil Haram yang ada di Mekah ke Masjidil Aqsha yang ada di Syam melintasi ribuan kilometer yang jauh dari Mekah tempat Rasulullah dilahirkan, hal ini Allah ingin membuktikan bahwa ajaran yang Rasulullah bawa bukan hanya untuk penduduk Mekah saja tetapi untuk seluruh wilayah yang ada di bumi ini. Setibanya Rasulullah SAW di Masjidil Aqsha, beliau memimpin shalat para Nabi dan Rasul-Rasul Allah. Hal tersebut menandakan bahwa baginda Rasulullah SAW merupakan pemimpin dan penghulu para Nabi dan Rasul yang telah Allah turunkan sebelumnya. Dan agama Islam beserta syariatnya yang Rasulullah bawa menjadi ajaran dan syariat yang berlaku untuk seluruh kaum dan umat manusia di seluruh dunia.

5. Dalam Isra’ Mi’raj diturunkannya perintah shalat wajib 5 kali dalam sehari.

Ketika Rasulullah sampai di Sidratul Muntaha dan menghadap kepada Allah, lalu Allah menurunkan syariat shalat 5 waktu kepada Rasulullah SAW dan kepada para umatnya. Dan perintah shalat yang Rasulullah terima menjadi perintah yang Rasulullah pegang erat dan Rasulullah teguhkan kepada umatnya agar jangan sampai umatnya melalaikannya, karena ibadah shalat menjadi kunci utama diterimanya amalan-amalan umatnya yang lainnya hingga sampai Rasulullah mewasiatkannya pada detik-detik meninggalnya Rasulullah saw.

Demikianlah peristiwa Isra’ Mi’raj ini Allah SWT memperjalankannya kepada baginda Rasulullah SAW, hal tersebut sesungguhnya untuk dapat diketahui oleh orang-orang yang beriman dan berakal. Semoga ini menjadi hikmah yang besar buat kita semua.


Sumber: https://www.dakwatuna.com/2012/06/18/21114/hikmah-dibalik-peristiwa-isra-miraj-rasulullah-saw/#ixzz5CRrYYmUQ

Gambar Tidak Tersedia

Meneladani Akhlak Rasulullah SAW

Kepribadian menggambarkan keimanan seseorang. Kita bisa mengetahui keimanan seseorang melihat dari tingkah laku kesehariannya. Rasulullah sendiri telah menetapkan tujuan pertama dari bi’tsahnya, dan cara yang terang dalam dakwahnya, yaitu dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, :

  Ø§Ù†Ù…ا بعثت لاتمم مكارم الاخلاق

Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan budi pekerti luhur.”(HR. Bukhari, Abu Daud, dan Hakim)

Pada tulisan ini akan dijelaskan hubungan keimanan dengan keteladanan(uswah).  Namun disini saya lebih memfokuskan masalah keteladanan mengaitkannya dengan akhlak Rasulullah. Karena Rasulullah-lah orang yang berakhlak mulia yang wajib kita tiru perbuatannya.

Hadits tentang akhlak Rasulullah SAW sebagai suri tauladan yang baik

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ سَمِعْتُ مَسْرُوقًا قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوحِينَ قَدِمَ مَعَ مُعَاوِيَةَ إِلَى الْكُوفَةِ فَذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا

“Diriwayatkan dari Hafsh bin ‘Umar, dari Syu’bah, dari Sulaiman, aku mendengar Abu Wa’il,juga aku telah mendengar dari Masruq berkata, ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, dan dari Qutaibah, dari Jarir, dari Al-‘A’masy, dari Syaqiq bin Salamah, dari Masruq berkata: kami telah bertemu dengan ‘Abdillah bin ‘Amr dan ketika berangkat dengan Mu’awiyah ke Kufah, kemudian dia menyebut Rasulullah s.a.w.dan berkata: “Rasulullah s.a.w.sama sekali bukanlah orang yang keji dan bukan pula orang yang jahat; dan dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “sesungguhnya orang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik budi pekertinya.”
Rasulullah s.a.w.adalah sosok manusia yang patut kita teladani. Kepribadiannya amatlah luhur. Beliaulah figur ummat.pembawa syafa’at hingga akhir kiamat. Tak bisa dipungkiri, dengan memakan waktu yang cukup singkat beliau bisa membawa agama Islam jaya.

Itu semua tidak lain hanya dikarenakan beliau mempunyai kegigihan serta semangat yang tinggi dalam menjalankan tugas dari Allah, juga beliau mempunyai akhlak yang terpuji. Beliaulah sosok manusia sempurna dan dicintai Allah. Dia juga berkehendak agar setiap mukmin menjalani kehidupannya dengan meneladani beliau. Allah s.w.t.berfirman :

ﻟﻘﺪ ﻜﺎﻦ ﻟﻜﻢ ﻓﻲ ﺮﺴﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺴﻮﺓ ﺤﺳﻧﺔ ﻠﻤﻦ ﻛﺎﻦ ﻴﺮﺠﻮ ﺍﻠﻠﻪ ﻮﺍﻠﻴﻮﻢ ﺍﻵﺨﺮ ﻮﺬﻜﺮ ﺍﻠﻠﻪ ﺨﻴﺮﺍ ﻜﺛﻴﺮﺍ

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suru tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap(rahmat)Allah dan (kedatangan)hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.”(QS. Al-Ahzab :21)

Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah s.a.w., ia menjawab :

ﻜﺎﻦ ﺨﻠﻘﻪ ﺍﻠﻘﺮﺍﻦ

Akhlak Beliau adalah Al-Qur’an.“(H.R. Ahmad)

Masa kanak-kanak Muhammad s.a.w.dihabiskannya di alam pedesaan yang berudara bersih, yaitu di desa Bani Sa’idah. Alam dan pendidikan desa telah memberikan kesan mendalam dalam watak dan kepribadiannya. Tubuhnya menjadi sehat dan kuat, akhlaknya baik dan lidahnya fasih.

Tidak itu saja, kehidupan desa telah membuat beliau menjadi orang yang bertanggung jawab, dan tabah dalam mengahadapi segala penderitaan. Ia semakin terkenal sebagai seorang pemuda hasyimi yang luhur, seorang bangsa Quraisy yang mempunyai kedudukan tinggi, keturunan orang yang terhormat dan disegani di kota Makkah, namun tidak sombong dan tidak pula membanggakan diri.

Beliau sangat baik terhadap keluarganya, akhlaknya begitu mulia. Ali karramallahu wajhahu berkata :”Beliau selalu mendengarkan dengan baik orang yang berbicara kepadanya. Kata-katanya lembut dan menyenagkan. Kadang-kadang beliau tertawa lebar, sehingga gigi taringnya terlihat jelas. Kalau sedang marah, tak pernah kehilangan kontrol, hamya alis matanya bertaut jika sedang marah.

Dia adalah manusia yang paling luhur hatinya, palinh murah, berani,jujur, budi pekertinya begitu mulia dan lembut, bergaul dengannya sungguh menyenangkan. Siapa yang melihatnya tiba-tiba timbul rasa hormatnya, dan siapa yang bergaul akrab otomatis akan mencintainya.

Beruntung sekali pada isteri-isteri beliau yang mempunyai suami seperti Nabi Muhammad s.a.w. mereka orang yang sangat mujur mendapatkan suami yang luhur sifatnya serta akhlaknya. Siapa yang tidak akan berbahagia hidup serumah dan seatap dengan seorang suami yang berperangai lembut dan penuh semangat seperti yang dimiliki Nabi Muhammad s.a.w.

Di kalangan para sahabatnya, Rasulullah adalah teladan tertinggi tentang budi pekerti yang diserukan oleh beliau. Budi pekerti itulah yang ditanamkan oleh beliau dalam jiwa para sahabatnya. Beliau mendahulukan contoh perilaku yang terpuji, sebelum menanamkannya dengan ucapan, kebijaksanaan dan peringatan.

‘Abdullah bin ‘Amr mengatakan :Rasulullah bukan seorang yang buruk dan berperilaku tidak senonoh. Rasulullah bersabda :

ﺍﻦ ﻤﻥ ﺨﻴﺎﺮﻜﻢ ﺍﺤﺴﻨﻜﻢ ﺨﻠﻘﺎ

Orang-orang yang terbaik diantara kalian adalah mereka yang terbaik budi pekertinya.”

“Anas bin Malik mengatakan :”Aku melayani Rasulullah selama sepuluh tahun. Demi Allah, Beliau sama sekali tidak pernah membentak dengan ucapan “husy”, dan tidak pernah pula Beliau menegur “Mengapa engkau berbuat begitu?”, atau kenapa engakau tidak berbuat begitu?”.(H.R. Muslim)

Al-Qur’an merupakan gambaran nyata akan perilaku Rasulullah sebagai manusia terbaik dari sisi akhlak maupun penampilan fisik. Beliau memberi kepada orang yang memboikotnya, memaafkan orang yang menganiayanya, menjalin ikatan dengan orang yang memutuskannya, dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.

1.      Akhlak Rasulullah SAW terhadap tetangga

Orang yang suka menjerumuskan tetangga dan menuduhkan hal-hal buruk kepadanya, agama telah menetapkan hukumnya bertetangga dengan ketetapan yang amat berat. Mengenai hal itu Rasulullah s.a.w.bersabda :

ﻮﺍﷲﻻﻴﺆﻤﻦ ﻮﺍﷲﻻﻴﺆﻤﻦ ﻮﺍﷲﻻﻴﺆﻤﻦ ﻗﻴﻝ ﻤﻦ ﻴﺎ ﺮﺴﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺬﻱ ﻻﻴﺄﻤﻦﺠﺎﺮﻩﺒﻭﺍﺌﻘﻪ

“Demi Allah, ia tidak beriman. Demi Allah, ia tidak beriman. Demi Allah, ia tidak beriman. Seorang sahabat bertanya :”siapakah wahai Rasul Allah?”, Beliau menjawab :”Orang yang tetangganya tidak merasa aman karena perbuatan jahatnya.”(H.R. Bukhari)

Kita dianjurkan untuk menjaga perasaan hati tetangga kita. Kita tidak boleh menyakitinya. Karena tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita dalam lingkungan sosial. Kita tidak lepas dari bantuan mereka. Ketika kita jauh dari keluarga dan ketika itu juga kita sangat membutuhkan pertolongan, maka tetanggalah orang yang paling pertama membantu kita.

2.      Akhlak Rasulullah SAW terhadap isteri

Rasulullah s.a.w.bersabda :”orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang baik akhlaknya dan paling lembut terhadap keluarganya.”(H.R. Bukhari)

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada isterinya.”(H.R. Tirmidzi)

Para suami sepatutnya benar-benar menyadari bahwa dalam pandangan Islam sebaik-baik lelaki adalah lelaki yang paling lemah lembut dan paling baik sikapnya kepada isteri, keluarga serta anak-anaknya.

Jadi, jika seorang suami bersikap kebengisan, garang atau kasar, walaupun mempunyai pangkat dan jabatan yang tinggi, memiliki ilmu yang banyak, menyandang gelaran dari anugerah sultan, sebenarnya belum menjadi lelaki yang baik.

Memang, boleh jadi karena satu dan lain hal. Isteri terkadang membuat jengkel atau sulit mentaati suami. Namun, sebenarnya yang paling penting untuk dipikirkan adalah kepribadian sang suami itu sendiri. Mengapa?, karena seorang suami akan sulut untuk mengubah isteri atau anak-anaknya ke arah yang lebih baik, jika si suami sendiri belum mengubah perilakunya menjadi lebih baik. Padahal dalam Al-Qur’an surat at-Tahrim :6, dikatakan :

ﻗﻮﺍ ﺃﻨﻔﺴﻜﻢ ﻮﺃﻫﻠﻴﻜﻢ ﻧﺎﺮﺍ

“Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.”

Artinya, yang menjadi keutamaan seharusnya adalah menjaga diri dan keluarga. Pokoknya kalau kita ingin berbuat sesuatu, sesudah kita memperbaiki diri, selamatkan keluarga. Banyak pemimpin yang jatuh gara-gara keluarganya. Kemungkinan akibat dari isterinya, dari anak-anaknya, ataupun sebaliknya.

Ironisnya, kadang-kadang suami lebih banyak menuntut dan menyalahkan isteri apabila ada hal-hal yang dianggapnya tidak baik. Misalnya, ketika sang anak malas belajar ataupun beribadah, suami sibuk menyalahkan isteri.

Isteri dianggap tidak mampu memperhatikan anak, tidak mampu mendidik,dsb. Padahal persoalan mendidik anak bukan semata-mata tanggung jawab isteri. Tidak sedikit rumah tangga yang menganggap pendidikan anak hanya pekerjaan ibu, sementara suami lebih sibuk mencari nafkah. Padahal sosok ibu hanya sebahagian dari pada potensi rumah tangga.

3.      Keteladanan orang tua terhadap anak

Sering kali kita mendengar orang mengatakan “si Fulan adalah murid teladan”. Dari sini dapat diartikan bahwa Fulan adalah anak yang harus ditiru atau dijadikan sebagai contoh. Teladan menunjukkan makna yang positif.

Keteladanan merupakan salah satu proses untuk membentuk akhlak seseorang. Melalui keteladanan(Qudwah,Uswah). Orang tua dan guru yang biasa memberikan keteladanan mengenai perilaku baik, maka biasanya akan ditiru oleh anak-anaknya dan muridnya dalam mengembangkan perilaku mereka.

Tidaklah berlebihan jika Imam Al-Ghazali pernah mengibaratkan bahwa orang tua itu seperti cermin bagi anak-anaknya. Artinya, perilaku orang tua biasanya akan ditiru oleh anak-anaknya. Karena dalam diri anak-anak terdapat kecendrungan suka meniru (hubbu altaqlid).[3]

Gambar Tidak Tersedia

Olahraga yang di Sunnahkan Rasul

Olahraga adalah salah satu cara untuk menjaga kesehatan tubuh kita agar tak mudah terkena penyakit. Tubuh yang bugar usai berolahraga akan membuat kita lebih produktif menjalani hari-hari kita dengan serangkaian aktivitas, tak terkecuali ibadah. Ternyata ajaran Islam pun sangat menyarankan umatnya untuk berolahraga, hal ini terbukti dari beberapa hadist mengenai aktivitas olahraga Rasulullah. Kata olahraga memang tidak secara langsung disebutkan, tapi kita dapat memahaminya dari penjelasan hadist tersebut.

1. Lari

Diceritakan oleh Aisyah RA: "Rasulullah SAW mendahuluiku, kemudian aku mendahului beliau, begitulah seterusnya. Hingga saat badanku sudah gemuk, kami pernah berlomba dan beliau yang memenangkan perlombaan itu. Kata beliau, "Kemenangan kali ini merupakan balasan atas kekalahan yang lalu." (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Hadist ini bercerita tentang perlombaan lari antara Rasulullah dengan istrinya. Para sahabat dulu juga terbiasa melakukan perlombaan lari cepat, dan Rasulullah SAW mengizinkannya. Lari adalah salah satu olahraga paling mudah yang bisa kita lakukan karena tanpa harus menggunakan alat tertentu. Adakah di antara kalian yang sudah terbiasa jogging atau berlari tiap harinya?

2. Gulat

Rukanah, seorang pegulat terkenal di Makkah pernah mengajak Rasulullah bergulat,

“Sesungguhnya Rasulullah gulat dengan Rukanah yang terkenal kekuatannya itu, kemudian ia berkata; Domba lawan domba. Kemudian Rasulullah bergulat dan beliau bersabda : Berjanjilah denganku untuk (melakukan gulat) lagi di lain waktu. Kemudian Rasulullah bergulat seraya bersabda: Berjanjilah denganku, lalu Rasulullah saw bergulat untuk ketiga kalinya. Kemudian orang itu bertanya; apa yang harus saya katakan kepada keluargaku? Rasulullah saw menjawab: Katakan “domba telah dimakan oleh serigala, dan seekor dombapun lari.” Kemudian apa pula yang saya katakan untuk yang ketiga? Rasulullah saw menjawab : Kami tidak dapat mengalahkan kamu untuk bergulat karena itu ambillah hadiahmu.” (HR. Abu Daud).

Kalau olahraga yang satu ini butuh kemampuan khusus dan harus sering latihan agar mampu melakukannya dengan baik.

3. Panahan

Memanah adalah olahraga yang paling banyak disebutkan dalam hadist maupun Alquran. Beberapa hadist yang menganjurkan kita untuk belajar memanah adalah,

Rasulullah bersabda : “Lemparlah panahmu itu, dan saya bersama kamu sekalian.” (HR. Bukhari).

Rasulullah bersabda : “Kamu harus belajar memanah, karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.” (HR. Bazzar dan Thabrani).

Namun harus diperhatikan bahwa sasaran panahnya tidak boleh makhluk hidup, Ibnu Umar mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran memanah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Anggar

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, ia berkata : “Ketika orang-orang Habasyah sedang bermain anggar di hadapan Nabi , tiba-tiba Umar masuk kemudian mengambil kerikil dan melemparkannya kepada mereka. kemudian Rasulullah berkata kepada Umar : Biarkanlah mereka itu, wahai Umar.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Orang-orang Habasyah atau Ethiopia bermain anggar di dalam Masjid Nabawi, tempat yang mulia dan Rasulullah membiarkannya. Karena itu banyak yang menganggap permainan anggar ini sebagai salah satu olahraga yang disarankan oleh Rasulullah.

5. Berkuda

Hadits-hadits Rasulullah tentang berkuda sebenarnya sangat banyak. Beberapa di antaranya adalah,

“Sesungguhnya Rasulullah pernah mengadakan pacuan kuda dan memberi hadiah kepada pemenangnya.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat Ibnu Majah: “Setiap hal yang melalaikan seorang Muslim hukumnya batil kecuali memanah dengan busur, melatih kuda, dan canda dengan istri.”

Dulu kuda digunakan sebagai kendaraan, kira-kira mengendarai mobil dan motor yang merupakan kendaraan zaman sekarang dianjurkan juga nggak ya?

6. Berenang

Dari segi kesehatan, olahraga renang sangat dianjurkan karena memiliki banyak sekali manfaat bagi tubuh karena mengombinasikan banyak hal. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Ajarilah anakmu (olahraga) berenang dan memanah " (HR. Dailami). Sayangnya hadist ini dianggap lemah, tapi tidak ada salahnya juga kalau kita mencoba menekuni olahraga renang.

Hadist-hadist di atas menjelaskan bahwa Islam sangat peduli dengan kesehatan, yuk mulai terapkan gaya hidup sehat mulai sekarang

Sumber : http://taiwanhalal.com/post/171/6-olahraga-yang-dianjurkan-islam-dan-tertulis-dalam-hadist-nabi.html

Gambar Tidak Tersedia

Bicara Baik atau Diam

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, Seseorang mati karena tersandung lidahnya dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.”

Sungguh beruntung orang yang banyak diam ucapannya dihitung sebagai makanan pokok tidak semua yang kita ucapkan ada jawabnya jawaban yang tidak disukai adalah diam sungguh mengherankan orang yang banyak berbuat aniaya sementara meyakini bahwa ia akan mati.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hlm. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”

Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.”

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan.”

Oleh karena itu, dalam sebuah syair disebutkan,
Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.”

Tentang hadits (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir‘, maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan Allah maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Infithar:10–12)”

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)

Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)

Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ <span style="font-size: 11.0p

Gambar Tidak Tersedia

Manfaat Mendengarkan Cerita Anak

Anak-anak pada dasarnya adalah sosok manusia baru yang benar - benar baru  yang ada didunia ini sehingga mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Serta mereka juga perlu untuk memiliki wawasan yang luas dari orang - orang yang lebih dewasa disekitar mereka yang otomatis memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman dibanding mereka. Anak - anak sangat amat perlu untuk dituntun dan ditunjukkan mana baik dan mana buruk. Karena memang benar mereka layaknya kertas putih sehingga perlu coretan baiknyang menjadikan mereka sesuatu yang bermanfaat.

Perlu diketahui bahwa anak - anak juga memiliki perasaan layaknya kita, walaupun mereka sendiri tidak bisa mendefinisikan perasaan mereka sendiri. Bahkan mereka memiliki perasaan yang lebih halus daripada pada orang dewasa. Maka perlu digaris bawahi bahwa anak - anak juga perlu tempat untuk bercerita, perlu orang - orang yang mau mendengarkan cerita mereka dan mampu memilahkan mana yang baik dan buruk untuk mereka, sekali lagi agar mereka tidak tersesat.


Mereka juga ingin mendapat perhatian anda walau hanya seujung jari, sehingga beberapa anak akan terus mengulang pertanyaan yang sama dengan ditambah memanggil - manggil anda serta sedikit tarikan ujung baju. Maka alangkah baiknya anda luangkan sedikit waktu untuk menatap mata anak anda dengan dalam, fokuskan perhatian anda untuk anak anda, dan dengarkan kisahnya sejenak saja agar ia merasa bahagia karena ia merasa dianggap atau diakui keberadaannya.      

Dengan melakukan hal terdebut niscaya anda akan takjub dan merasa bahwa banyak sekali waktu berharga yang anda lewatkan dengan anak anda.


  Dengan cara anda yang selalu perhatian, ingin tahu apa kegiatannya sehari - hari dan selalu mendengarkan ceritannya anda dan anak akan sama - sama mendapat manfaat, berikut manfaatnya.

Beberapa manfaat untuk anak :


1. Merasa Diakui
  Anak akan merasa diakui karena ia didengarkan dan mendapat perhatian dan solusi, sehingga dengan dilakukannya ini anak tidak akan menjadi pribadi yang penyendiri, memendam masalah sendiri dan melakukan hal- hal yang tidak diinginkan.


2. Merasa Aman dan Terlindungi
  Ketika anda sabar dan penuh perhatian ketika mendengarkan anak anda, maka anak anda akan merasa aman berada didekat anda serta membagi semuannya dengan anda serta ketika anda dapat memberikan solusi terbaik untuk masalahnya maka sianak akan merasa terlindungi karena ia dapat menyelesaikan masalahnya dengan pertimbangan solusi dari anda, tapi tetap yang pertama tanya dulu anak anda dulu bagaimana baiknya menurutnya lalu anda sebagai orang tua bisa mengarahkan.


3. Menjadi Pribadi yang Jujur
  Karena ia akan terbiasa mengatakan apa yang sesungguhnya, dan sesuai dengan yang benar - benar terjadi.


  Sedangkan manfaat untuk
orang tua adalah


1. Orang Tua rasa Sahabat


  Anak pada umumnya akan merasa lebih percaya teman dekat daripada orang tua. Dengan anda sharing dengan anak anda maka anak anda akan merasa bahwa anda adalah sosok terbaik dan sosok yang pas untuk bercerita sehingga secara langsung anda juga dapat mengkritik,memberi saran secara langsung tanpa menyinggung. Karena pada dasarnya anak sudah merasa nyaman

. Tapi tetap saya ingatkan anda sendiri juga harus mengontrol jangan terlalu menekan, mengekang anda harus tahu kondisi agar anak tidak merasa kecewa dengan menjadikan anda teman ngobrolnya, atau teman menyalurkan keluh kesahnya.


2. Memantau Perkembangan
  Anda dapat memantau perkembangan anak tanpa menjadi mata - mata (anda harus memiliki lebih besar rasa percaya daripada rasa waspada) karena disini anda akan tahu bagaimana anak disekolah, atau hubungan dengan teman, atau lainnya dan saya rasa ia berkata jujur karena mengingat anda teman terbaik untuk bercerita.

Sumber : https://www.kompasiana.com/dianaputri/5a01d63c8dc3fa65fe4f32f2/manfaat-mendengarkan-cerita-dari-anak

Gambar Tidak Tersedia

Cara Rasulullah SAW Sambut Ramadhan

Persiapan Rasul tersebut bukan hanya bersifat jasmani, melainkan paduan jasmani dan rohani mengingat puasa sebagaimana ibadah yang lain adalah paduan ibadah jasmani dan rohani, di samping ibadah yang paling berat di antara ibadah wajib (fardu) lainnya.

Oleh sebab itu, ia disyariatkan paling akhir di antara ibadah wajib lainnya. Persiapan jasmani tersebut dilakukan oleh Rasul SAW melalui puasa Senin-Kamis dan puasa hari-hari putih (tanggal 13,14 dan 15) setiap bulan sejak bulan syawal hingga Sya’ban.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa puasa Senin dan Kamis. Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, engkau senantiasa puasa Senin dan Kamis.”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya pada setiap hari Senin dan Kamis Allah SWT mengampuni dosa setiap Muslim, kecuali dua orang yang bermusuhan. Allah berfirman, ‘Tangguhkanlah keduanya sampai keduanya berdamai’.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam kaitannya dengan puasa tiga hari setiap bulan, Rasul SAW bersabda kepada Abu Dzar Al-Ghifari RA, “Wahai Abu Dzar, jika engkau ingin berpuasa setiap bulan, maka puasalah tanggal 13,14 dan 15.” (HR. Tirmidzi).

Sedangkan persiapan rohani dilakukan oleh Rasul SAW melalui pembiasaan shalat tahajud setiap malam serta zikir setiap waktu dan kesempatan. Bahkan, shalat tahajud yang hukumnya sunah bagi kaum Muslimin menjadi wajib bagi pribadi Rasul SAW.

Diriwayatkan oleh Aisyah RA yang bertanya kepada Rasul SAW mengenai pembiasaan ssalat tahajud, padahal dosa-dosa beliau telah diampuni oleh Allah SWT, Rasul SAW menjawab dengan nada yang sangat indah, “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?”

Memasuki bulan Sya’ban, Rasul SAW meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah puasa, qiyamul lail, zikir dan amal salehnya. Peningkatan tersebut dikarenakan semakin dekatnya bulan Ramadhan yang akan menjadi puncak aktifitas kesalehan dan spiritualitas seorang Muslim.

Jika biasanya dalam sebulan Rasul SAW berpuasa rata-rata 11 hari, maka di bulan Sya’ban ini beliau berpuasa hampir sebulan penuh. Dikisahkan oleh Aisyah RA bahwasanya, “Rasulullah banyak berpuasa (di bulan Sya’ban) sehingga kita mengatakan, beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam riwayat Usama bin Zayed RA dikatakan, “Aku bertanya kepada Rasul, ‘Wahai Rasulullah, Aku tidak melihatmu banyak berpuasa seperti di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban adalah bulan yang dilupakan manusia, letaknya antara Rajab dan Ramadhan. Di bulan tersebut amal manusia diangkat (ke langit) oleh Allah SWT dan aku menyukai pada saat amal diangkat aku dalam keadaan berpuasa’.” (HR. An-Nasa’i).

Sya’ban adalah bulan penutup rangkaian puasa sunah bagi Rasulullah SAW sebelum berpuasa penuh di bulan Ramadhan. Jika Rasul telah mempersiapkan penyambutan Ramadhan dengan berpuasa minimal 11 hari di luar Sya’ban dan 20-an hari di bulan Sya’ban, berarti untuk menyambut Ramadhan Rasulullah SAW telah berpuasa paling sedikitnya 130 hari atau sepertiga lebih dari jumlah hari dalam setahun.

Maka, hanya persiapan yang baiklah yang akan mendapat hasil yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk mempersiapkan diri di bulan Sya’ban sehingga memperoleh hasil yang maksimal di akhir Ramadhan.

Demi memperoleh gambaran utuh dan mendetail dari manajamen Ramadhan Rasulullah, setidaknya ada empat  situasi yang perlu kita perhatikan.

1.        Sebelum memasuki Ramadhan

Para Salafus shalih selalu merindukan kedatangan Ramadhan. Untaian doa selalu terucap dari lisan-lisan mereka agar diberi kesempatan menemui Ramadhan sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba.

Contohnya, Imam Malik setelah pengajiannya sering menyarankan para murid dan sahabatnya untuk mempelajari bagaimana para sahabat memenej kehidupan ini, termasuk hal-hal yang terkait dengan Ramadhan mereka. Meskipun tidak mendapatkan kesempatan untuk hidup bersama para Sahabat, namun nya mampu meneladani mereka melalui sejarah hidup mereka.

Ma’la Bin Fadhal berkata: “Dulu Sahabat Rasulullah berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa mereka ialah : Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.” (HR. at Thabrani: 2/1226).

Melihat kepada sikap dan doa yang mereka lakukan, terlihat jelas bagi kita bahwa para sahabat dan generasi setelahnya sangat merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka sangat berharap dapat berjumpa dengan Ramadhan demi mendapatkan semua janji dan tawaran Allah dan Rasul-Nya dengan berbagai keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan lain.

Hal tersebut menunjukkan bahwa para sahabat dan generasi setelahnya betul-betul memahami dan yakin  akan keistimewaan dan janji Allah dan Rasul-Nya yang amat luar biasa seperti rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan) dan keselamatan dari api neraka. Inilah yang diungkapkan Imam Nawawi, “Celakalah kaum Ramadhaniyyin. Mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan.”

Sesungguhnya Rasulullah, sahabat dan generasi setelahnya mengenal Allah sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan dan di bulan Ramadhan pengenalan mereka kepada Allah lebih bertingkat.

2.       Saat memasuki Ramadhan

Ketika terbitnya hilal di ufuk pertanda Ramadhan tiba, Rasul dan para sahabat menyambutnya dengan suka cita sembari membacakan doa seperti yang diceritakan Ibnu Umar dalam hadits berikut :

 “Dari Ibnu Umar dia berkata : Bila Rasul melihat hilal dia berkata : Allah Maha Besar. Ya Allah, jadikanlah hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman dan taufik kepada yang dicintai Robb kami dan diridhai-Nya. Robb kami dan Robbmu (hilal) adalah Allah.” (HR. Addaromi).

Itulah gambaran nyata dari Rasul  dan para sahabat ketika meyambut kedatangan bulan penuh berkah ini. Bukan dengan hiruk pikuk yang penuh kebisingan dan tabdzir dengan pawai disertai pesta kembang api atau petasan di jalanan sambil keliling kota atau desa memukul beduk dan sebagainya.

Namun, Rasulullah dan para sahabat menyambutnya dengan keyakinan, dan perasaan rindu yang mendalam  akan kebesaran Ramadhan. Dengan harapan, jika amal ibadah Ramadhan dijalankan dengan ikhlas dan khusyu’, mereka akan meraih rahmat, ampunan dan terbebas dari api neraka. Ketiga nikmat itu tidak akan ternilai harganya bagi mereka dibandingkan dengan dunia dan seisinya.

3.       Setelah memasuki Ramadhan

Setelah memasuki awal Ramadhan hingga akhir, Rasulullah dan para sahabat meningkatkan ketaqwaan untuk menahan diri dari berbagai syahwat dan perbuatan yang dapat merusak kesempurnaan puasa. Mereka menutup setiap celah syahwat dengan “mengetuk” setiap pintu kebajikan. Seperti syahwat anggota tubuh atau menyakiti orang lain dan semacamnya. Semuanya dilakukan sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari.

Rasulullah dan para sahabat menghidupkan siang dan malam dengan berbagai amal ibadah. Seperti bersedekah, shalat taraweh, berzikir, membaca dan tadabbur Al-Qur’an dan berbagai ibadah lainnya. (Bahkan, ibunda Aisyah pernah berkata bahwa Rasulullah adalah orang yang paling dermawan dan lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan.(Muhammad ad-tirmidzi: 164). Artinya, selama Ramadhan Rasulullah dan para sahabat benar-benar menfokuskan diri bertaqorrub kepada Allah melalu training manajemen syahwat dan sekaligus training manajemen ibadah. Dua hal inilah yang mesti dimiliki oleh setiap hamba yang ingin mendapat ridha Allah di dunia dan bertemu dengan-Nya di syurga.

4.      Ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan

Ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan, akan kita temukan sesuatu yang sangat berbeda pada diri Rasulullah  dengan mayoritas Muslim hari ini. Rasulullah mengencangkan tali ikat pinggangnya pertanda bertambahnya kesungguhan nya untuk beribadah dan menghidupkan malam-malamnya dan  membangunkan keluarganya untuk shalat dan berdzikir agar tidak kehilangan keberkahan yang melimpah ruah pada malam-malam tersebut. danNya menghabiskan waktu tersebut terkhusus untuk beri’tikaf di masijid. (Muttafaq ‘alaihi)

Adapun masyarakat Muslim dewasa ini mayoritas menghabiskan waktu mereka di pasar atau pusat perbelanjaan. Artinya, Rasulullah dan para sahabat lebih giat dalam beribadah di sepertiga akhir Ramadhan, sedangkan mayoritas umat Muslim menghabiskan waktu dan kekayaannya demi kepentingan dunia semata.

v  Ini 3 Hal Yang Dilakukan Rasulullah Menyambut Ramadhan

Berbagai cara dan tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan banyak dimanfaatkan umat muslim mulai dari untuk bersilaturahmi, mensucikan diri dan jiwa, saling memaafkan hingga berbagi rezeki kepada kepada mereka yang tidak mampu. Tidak berbeda jauh dengan umat muslim di masa sekarang, pada masa Nabi Muhammad SAW-pun, cara dan tradisi menyambut Ramadhan juga terbilang cukup unik dan patut dicontoh. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk agar mempersiapkan diri menyambut kedatangan bulan yang mulia ini, salah satunya yaitu dengan memperbanyak ibadah.

Rasulullah sendiri, telah terbiasa menjalankan puasa sunah pada hari Senin dan Kamis yang juga diikuti dengan makan sebelumnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mempersiapkan mental sekaligus fisik saat bulan Ramadhan tiba. Ingin tahu apa yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya saat menyambut bulan Ramadhan?

  1. Menyambut dengan suka-cita

Pada masa Rasulullah, digambarkan bahwa seorang muslim, terutama Rasulullah dan para sahabatnya menyambut bulan Ramadhan dengan hati yang dipenuhi rasa suka cita. Dalam dirinya sudah terbayang suasana indah Ramadhan dan suasana itupun sudah tergambar dalam hati dan terukir dalam pikirannya. Kehadiran bulan Ramadhan selalu dirindukan dan dinanti-nantikan.

  1. Memikirkan hal-hal sekecil-kecilnya

Hal yang bisa dikatakan cukup lucu ini, yaitu saat para sahabat Rasulullah tak bedanya seperti calon pengantin yang sudah menanti-nantikan hari pernikahannya. Jauh hari sebelum bulan Ramadhan tiba, mereka sudah memikirkan hal-hal yang paling kecil dan terlihat sepele sekalipun. Beberapa hal, seperti gaun apa yang akan dikenakan, apa yang akan mereka ucapkan, hingga bagaimana menata jalan dan senyum mereka sudah terpikirkan oleh para sahabat Rasul. Di masa itu juga, tidak ada seorang muslim yang bersedih hati ketika menyambut Ramadhan. Sebaliknya, mereka menyambut Ramadhan dengan antusias dan hati yang dipenuhi rasa suka cita.

  1. Berkumpul di masjid dan mendengarkan khutbah

Saat berkumpul di masjid ini juga dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk saling meminta maaf. Seperti seorang sahabat kepada sahabatnya, seorang anak kepada orang tuanya, seorang adik kepada kakaknya, dan seterusnya. Hal ini dilakukan karena mereka ingin memasuki bulan suci ini tanpa beban dosa dan memasuki bulan Ramadhan dengan keadaan diri yang suci dan bersih.

Demi meraih tujuan tersebut, maka momentum yang penuh berkah ini perlu dijadikan sebagai momentum Training Manajemen Syahwat, dan sekaligus menjadi Training Manajemen Ibadah. Inilah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

Oleh karena itu,  demi tercapainya tujuan tersebut mengetahui manajemen Ramadhan Rasulullah menjadi suatu keharusan.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/07/15/m76wv6-cara-rasulullah-sambut-ramadhan

https://www.1001inspirasiramadhan.com/article/puasa/ini-3-hal-yang-dilakukan-rasulullah-menyambut-ramadhan

Gambar Tidak Tersedia

Pilar Utama Keikhlasan

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

 

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

 

Buruknya Riya

Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?'” (HR Ahmad).

Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

 

Ciri Orang Yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:

1.        Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2.       Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.


Sumber : https://www.dakwatuna.com/2008/05/03/582/tiga-ciri-orang-ikhlas/

Ceramah Aa Gym

Gambar Tidak Tersedia

Menjadi Pribadi yang Menyenangkan di Hadapan Allah SWT

Menjadi mulia adalah keinginan setiap manusia, namun tidak setiap manusia mengetahui hakekat kemuliaan. Kemuliaan yang hakiki adalah mulia di sisi Allah.

Mulia di sisi Allah pasti mendatangkan keberkahan yang sebenarnya. Lalu ukuran apakah yang bisa digunakan untuk menilai seseorang mulia di sisi Allah atau tidak?
Satu-satunya ukurannya adalah ketaqwaaan. Jika seseorang sudah mencapai derajat taqwa, dia telah mulia di sisi Allah. Semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin mulia kedudukannya di sisi Allah. Sekadar ber-Islam dan beriman tanpa bertaqwa bukanlah ukuran mulia di sisi Allah. Apatah lagi harta, kedudukan, jabatan, profesi, gelar akademik dan gelar-gelar lainnya, prestasi akademik dan prestasi-prestasi lainnya, pakaian kebesaran dan pakaian-pakaian lainnya, popularitas, ketampanan atau kecantikan, dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13)

Dengan berpedoman pada wahyu-Nya tersebut, manusia bisa melihat dirinya sendiri dan orang lain secara kasat mata apakah telah mencapai derajat taqwa dan seberapa tinggi tingkat ketaqwaanya.

Salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa dalam al-Quran adalah “yuqiimuun ash-sholah” (mendirikan shalat) sebagaimana tersebut dalam dua ayat berikut ini.
“Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]:2-3)

Kata ash-sholah di dalam al-Qur’an bergandengan dengan kata kerja dasar aqooma (mendirikan) bukan ’amala (mengerjakan). Dalam ayat tersebut di atas, kata yang bergandengan dengan kata as-sholah adalah yuqiimuna (mendirikan), bukan ya’maluuna (mengerjakan). Yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah memelihara atau menjaga shalat, dalam arti tidak melalaikannya. Definisi tidak melalaikan shalat adalah sebagai berikut: Shalat wajib lima waktu tidak ada yang bolong. Melakukan setiap shalat dengan khusyu’ dan tuma’ninah. Melaksanakan shalat fardhu tepat waktu (tidak menunda-nunda) dan bagi laki-laki wajib berjama’ah di masjid (musholla/surau/nama lainnya).

Selain mendirikan shalat. ciri orang bertaqwa lainnya yang juga penting untuk dikemukakan di sini adalah sedikit tidur di malam hari dengan cara segera tidur di awal malam dan segera bangun di tengah malam atau di akhir malam sebelum fajar menyingsing untuk beribadah kepada Allah dengan mendirikan shalat Lail (tahajjud), membaca al-Qur’an, berdzikir, memanjatkan do’a, dan memohon ampun kepada Allah.

Al-Quran menyebutkan;

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]:15-18)

Sedangkan ciri lain orang yang paling bertaqwa adalah menafkahkan hartanya di jalan Allah.

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (QS. Al-Lail [92]:17-18)

Kemudian, keuntungan apa saja yang pasti diperoleh oleh orang-orang bertaqwa?
Salah satu keuntungan yang didapatkan orang bertaqwa di dunia adalah ketika ajal datang kepadanya malaikat mencabut nyawanya dalam keadaan baik. Ketika meninggal, setiap orang berbeda keadaannya, ada yang baik dan ada yang tidak baik. Baik atau tidak tergantung masing-masing individu, apakah telah mencapai derajad taqwa atau tidak.

“(yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”.” (QS. An-Nahl [16]: 31-32)

Di akhirat, keuntungan yang akan didapatkan orang-orang bertaqwa adalah memperoleh surga yang memang sudah disediakan khusus oleh Allah untuk mereka.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali I’mron [3]:133)

Dengan mengetahui keberkahan yang pasti diperoleh oleh orang-orang yang bertaqwa yang tidak bisa diragukan lagi pasti mulia di sisi Allah apakah kita masih mengejar kemuliaan diri dan memuliakan manusia yang dimuliakan menurut kaca mata dan di mata manusia?

Karenanya, marilah kita jadikan diri kita, apapun profesi kita. Baik sebagai pemimpin, pejabat, pemilik dan pelaku media, selebritis, maupun lainnya berusaha menjadikan diri kita sendiri mulia di sisi Allah dan memuliakan orang-orang yang mulia di sisi Allah.

Inilah kriteria orang yang paling baik di hadapan Allah :

1.       Orang yang paling bermanfaat untuk orang lain.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lainnya.” (HR. Thabrani)

2.       Orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah mereka yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
“Manusia yang paling baik adalah mereka yang paling banyak bacaan dan ilmu Al Qur’an, paling bertakwa, dan paling suka ber-amar ma’ruf nahi munkar serta paling rajin menyambung silaturahim.” (HR. Ahmad)

3.      Suami yang paling baik kepada keluarganya.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)

4.      Orang yang paling baik akhlaknya dalam menuntut ilmu.
Ilmu yang penting dipelajari (wajib ‘ain) oleh setiap muslim adalah ilmu mengenai akidah, akhlak, dan fikih.

5.       Orang yang panjang umur dan paling baik amalannya.
“Sebaik-baik kalian adaalah yang terbaik akhlaknya.” (HR. Bukhari-Muslim)

6.      Orang yang paling diharapkan kebaikannya dan terjaga keburukannya.
“Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang kebaikannya selalu diharapkan dan orang lain merasa aman dari keburukannya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

7.       Orang yang tidak sukar melunasi hutangnya.

8.      Orang yang suka memberi makanan pada saudaranya.

Bagaimana cara menjadi pribadi yang menyenangkan menurut Islam yang bisa anda lakukan? Berikut tipsnya.

1.        Tersenyumlah

Dalam Islam, orang yang paling menyenangkan adalah sosok dari Rasulullah SAW. Ia tidak hanya disegani oleh lawan. Namun, jika berhadapan dengan kaum muslim ia menjadi pribadi yang menyenangkan.Rasulullah SAW wajib kita contoh pribadinya termasuk cara beliau menyenangkan orang lain. Salah satunya anjuran beliau untuk memberikan senyum kepada saudara muslim yang lain.
Sabdanya,  “Senyum manismu dihadapan saudaramu adalah shadaqah” (HR. Tirmidzi).
Coba bayangkan, jika ada seseorang yang bertemu dengan kita kemudian kita tersenyum maka bisa jadi orang tersebut merasa terhibur. Ia ikut juga ikut senyum karena kita memulai senyum kepadanya, maka hilanglah sedikit kedukaan yang ada dalam hatinya.

2.       Jangan Sungkan Menyapa Orang Lain.

Menyapa orang lain membuat ia merasa diperhatikan dan merasa dihargai.
Berilah sapaan kepada tetangga, teman, atau saudara anda. Maka mereka akan merasa  dirinya penting buat anda. Efeknya, rasa persahabatan diantara anda akan semakin erat. Sehingga, orang lain akan merasa senang di saat berada di dekat anda.

Menyapa orang lain hendaknya dengan sesuatu yang baik. Di dalam Islam, ummatnta diajarkan untuk senantiasa mengamalkan saling sapa diantara mereka dengan salam. Saling memberi ucapan salam kepada mereka satu sama lain.

Hadits dari Rasulullah SAW yang artinya, "Sebarkanlah salam diantara kamu" (HR. Muslim).

Bahkan salam ini merupakan perkataan para penduduk surga kelak di akhirat. Mereka saling memberi salam satu sama lain, berharap diberikan keselamatan dan kebahagiaan buat mereka.
Menyapa orang lain, termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mengingat nama orang lain. Berlatihlah untuk mengingat nama orang lain di saat anda bertemu atau berkenalan.
Di saat anda mengingatnya dan bertemu pada kesempatan selanjutnya maka hal itu menjadi sesuatu yang sangat berharga baginya.

3.       Hindari Buruk Sangka

Orang yang bisa diterima di dalam pergaulan adalah orang yang mampu memperlakukan orang sama satu sama lain. Ia tidak membedakan perlakuannya adil.
Nabi SAW berpesan dalam haditsnya, "Jauihilah olehmu berburuk sangka" (HR. Muttafaq alaih)

4.      Berilah Empati

Sifat empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Rasakan dengan baik-baik apa yang dirasakan oleh orang lain. Kenali jalan pikirannya dan berikan solusi baginya jika ia membutuhkan.
Karena sesungguhnya solusi atau nasihat yang engkau berikan kepadanya merupakan salah satu tanda engkau berempati, peduli terhadap orang lain.
Nabi SAW berpesan kepada ummatnya untuk senantiasa saling menasehati, bahkan dikatakan bahwa agama adalah nasihat.
“Agama adalah nasihat” (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasai’i).

5.       Jadilah Pendengar yang Baik

Keahlian untuk menjadi pendengar yang baik harus juga diasah dalam diri agar menjadi sebuah kebiasaan positif.
Kita biasanya akan susah menjadi orang yang berempati kepada orang lain, jika kita tidak mampu menjadi pendengar yang baik.
Pendengar yang baik mampu dan mau mendengarkan penjelasan orang lain sebelum ia bertindak atau mengambil keputusan. Seorang ibu atau istri yang tidak mau mendengarkan penjelasan anak atau suaminya, maka bisa membuat hubungan menjadi tidak harmonis.

Cobalah untuk dengarkan penjelasannya. Dengarkan kesahnya. Dan jangan terlalu cepat men-justice seseorang itu salah dan anda adalah pihak yang benar. Ingat, bahwa disaat anda marah di saat mengambil keputusan, walaupun anda berada pada pihak yang benar tetapi bisa saja anda terjatuh pada keputusan yang salah dikarenakan anda mengambil keputusan dalam keadaan emosional, marah.

Nabi SAW memberikan nasihat buat kita agar tidak mudah marah, “Jika di antara kalian marah maka hendaklah ia diam” (HR Imam Ahmad).
“Jangan marah, maka bagimu syurga” (HR.Thabrani).

6.      Kontak Mata

Di saat anda berbicara dengan orang lain, hendaknya anda memperhatikan ia berbicara.
Lakukan kontak mata dengan lawan bicara anda agar ia merasa di hargai.
Hal sederhana ini bisa membuat anda menjadi pribadi yang menyenangkan bagi orang lain karena ia merasa di hargai disaat anda menatapnya saat berbicara.
Orang yang cenderung tidak mau menatap mata lawan bicaranya disaat berkomunikasi, secara
psikologi berarti ada sesuatu yang ia sembunyikan kepada lawan bicaranya.
Bisa juga berarti ia tidak menaruh minat atau perhatian kepada orang lain. Sehingga bisa saja, orang lain merasa diabaikan. Hal ini bisa menimbulkan kesan kesombongan.
Oleh karena itu, tataplah mata lawan bicara anda disaat ia berbicara kepada anda. Maka hal itu bisa membuat anda menjadi sosok yang menyenangkan dalam pandangan orang lain.

7.       Berilah Pujian, Ia akan Sangat Suka Hal Demikian

Untuk menjadi pribadi yang menyenangkan, maka tidak ada salahnya anda sesekali memberikan pujian kepada orang lain.
Berilah pujian kepadanya pada hal yang sesuai dengan kelebihan yang ada dalam dirinya. Entah itu karena sikapnya, kemampuannya ataupun yang lain.
Ia akan merasa sangat dihargai dengan pujian kecil yang anda berikan. Selain itu, orang yang dipuji misal dalam pekerjaan, maka ia akan cenderung lebih termotivasi untuk semakin lebih baik.

 

8.      Jadilah Orang yang Rendah Hati

Rendah hati beda dengan sifat rendah diri.
Rendah hati berarti tidak menyombongkan terhadap apa yang kita miliki.
Kalau rendah diri, ini adalah sifat mental dalam diri yang cenderung pemalu.
Orang yang rendah hati kepada orang lain, dalam pergaulan cenderung akan disenangi banyak orang.
Ia disenangi orang lain dikarenakan kebanggaannya terhadap apa yang ia miliki tidak membuatnya meremehkan orang lain.
Berusaha untuk selalu rendah hati dalam pergaulan akan menjauhkan kita dari sifat selalu merasa benar.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam benci kepada orang yang berdiri menghormatinya.  dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata, " Tak seorang pun yang mereka cintai lebih dari cinta mereka kepada Rasulullah SAW, tapi jika mereka melihat Rasulullah SAW mereka tidak berdiri untuk menghormatinya karena beliau membenci hal yang demikian. (HR. Ahmad Dan Tirmadzi.)

Sedangkan orang yang rendah diri, dalam pergaulan cenderung tertutup. Dikarenakan ia tidak yakin terhadap kemampuan dirinya. Akibatnya, orang lain pun tidak mampu memahami ataupun menghargai kemampuan atau kelebihannya.

Sumber :

https://cybermujahidah.wordpress.com/2015/02/14/sebaik-baik-manusia-di-hadapan-allah/

https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2011/04/29/3653/menjadi-mulia-dengan-memuliakan-diri-di-hadapan-allah.html